Wednesday, November 18, 2009

0

PARTAI DAN ALIRAN POLITIK DI INDONESIA

Posted in
Oleh: Alwan Pariadi Munthe, SHI

A. PENDAHULUAN
Penelitian mengenai partai politik merupakan kegiatan ilmiah yang relatif baru. Sekalipun bermacam-macam penelitian telah diadakan untuk mempelajarinya, akan tetapi hingga sekarang belum tersusun suatu teori yang mantap mengenai partai sebagai lembaga politik.
Partai politik pertama kali lahir di Negara-Negara Eropa Barat. Dengan meluasnya gagasan bahwa rakayat merupakan faktor yang perlu diperhitungkan serta diikutsertakan dalam proses politik, maka partai politik telah secara spontan dan menjadi penghubung antara takyat disatu pihak dan pemerintah dipihak lain. Partai politik umumnya dianggap sebagai manifetasi dari suatu sistem politik yang modern atau sedang dalam proses memodernisasikan diri.



B. PARTAI
Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai oreantasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujusn kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik dengan cara konstitusional untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.
Dibawah ini disampaikan beberapa pengertian mengenai partai politik:
Carl J. Friedrich: partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan untuk merebut dan mempertahankan penguasaan terhadap pemerintah bagi pimpinan partainya, dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil maupun materil.

R. H. Soltau: partai politik adalah sekelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisir, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik yang dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih, bertujuan menguasai pemerintahan dan melaksanaan kebijaksanaan umum mereka.
Menurut Undang-Undang No. 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik, Partai Politik adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa, dan negara melalui pemilihan umum.

Dalam sistem multipartai sederhana akan lebih mudah dilakukan kerja sama menuju sinergi nasional", tetapi jelas aturan-aturan hukumnya sarat pasal-pasal restriktif, kontrol negara, dan ancaman sanksi. Parpol-parpol "kecil" dan baru sebagian akan terpangkas karena legalitasnya ditentukan syarat-syarat (Pasal 2 Ayat 3):

(a) Memiliki akta notaris pendirian partai politik sesuai UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya;
(b) Mempunyai sekurangnya 50 persen dari jumlah provinsi, 50 persen dari jumlah Kabupaten/Kota pada tiap Provinsi yang bersangkutan, dan 25 persen dari jumlah Kecamatan pada tiap Kabupaten/Kota yang bersangkutan;
(c) Memiliki nama, lambang, dan tanda gambar yang tidak mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik lain;
(d) mempunyai kantor tetap.

Pasal 29 Ayat (1) dan (2) Undang-undang itu menyebutkan:
(1) Partai politik yang menurut UU No 2/1999 tentang Partai Politik telah disahkan sebagai badan hukum oleh Menteri Kehakiman diakui keberadaannya dan wajib menyesuaikan dengan ketentuan UU ini, selambat-lambatnya sembilan bulan sejak berlakunya UU ini;
(2) Partai politik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud Ayat (1) dibatalkan keberadaannya sebagai badan hukum dan tidak diakui keberadaannya menurut UU ini.
Dengan begitu sejumlah parpol berpotensi dibatalkan keabsahannya karena bukan hal yang mudah untuk membangun infra struktur kepengurusan sampai tingkat Kecamatan (artinya parpol harus punya sekitar 1.000 kepengurusan di tingkat Kecamatan, selain lebih dari 200 kepengurusan di Kabupaten/Kota dan 15 kepengurusan di tingkat Provinsi).
Konsekuensinya, parpol-parpol itu mustahil ikut pemilu, karena syarat pemilu diakui keberadaannya sebagai badan hukum sesuai UU Partai Politik. Departemen Kehakiman dan HAM akan meneliti 225 dalam kerangka relegalisasi. secara teknis, kesempatan parpol ikut Pemilu terhadang sejak awal, mengingat Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah akan memulai pendaftaran, seleksi, dan verifikasi parpol peserta pemilu selambat-lambatnya satu bulan setelah RUU Pemilu disahkan.

C. ALIRAN POLITIK
Apakah konflik-konflik sosial akan memiliki daya rembes ke dalam pelaksanaan Pemilu 2004? Demikian pula apakah akan terjadi pertarungan politik yang bersifat politik aliran dalam pemilu tersebut?

Itu tentu sulit dijawab secara memadai, manakala didasarkan pada tafsir-tafsir dari keadaan di lapangan. Sebab hingga sekarang kita masih sangat sulit untuk menentukan, misalnya, apakah kasus-kasus yang terjadi di Pemilu 1999 (kasus Dongos, Jepara;kasus Magelang; amok kutha Sala) merupakan bentuk konflik sosial atau politik aliran? Kemudian, bentrokan pendukung PDI-P dan Golkar di Bali serta pendukung PKB dan PPP di Secang (2003) apakah juga pengejawantahan dari model-model konflik seperti itu?

Perkiraan tentang kemungkinan terjadinya konflik sosial dan pertarungan politik aliran telah muncul secara kuat menjelang Pemilu 1999. Hal itu didasarkan pada kelahiran partai-partai politik yang berdasarkan ideologi. Karena itu timbullah kecenderungan ramalan tentang adanya pertarungan antarpartai politik dalam pemilu, yang lebih didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan ideologi politik. Hal tersebut terlihat pada tulisan tentang pertarungan ideologis partai-partai Islam versus partai-partai sekuler, yang menurut Al-Chaidar (1419 H) akan dimenangkan oleh partai-partai politik Islam, meski struktur dan model aturannya tidak memuaskan aspirasi umat Islam Indonesia.

D. BAYANG-BAYANG IDEOLOGI
Tentu saja, asumsi dan prediksi seperti itu sangat meleset. Bukan hanya perkiraan tentang kemenangan partai-partai politik aliran Islam versus partai-partai politik sekuler yang tidak tepat, bahkan konflik politik aliran itu pun tidak memperlihatkan kebenaran yang sesungguhnya dalam Pemilu 1999.

Dalam pemilu 7 Juni 1999 terdapat 17 partai politik Islam (12 partai politik berasas Islam dan 5 partai politik lainnya berasas Islam dan Pancasila). Adapun dari 500 kursi legislatif di DPR yang tersedia, mereka hanya mendapat 17,4% atau 87 kursi. Jika PKB dan PAN dapat dianggap sebagai partai Islam, jumlahnya menjadi 172 kursi atau 34,4% meski beberapa anggota legislatif PAN bukan muslim. Padahal sebenarnya anggota DPR yang beragama Islam mencapai 80,6%, kemudian disusul yang beragama Kristen Protestan 11,0%.

Politik aliran memang hampir terlihat dalam Sidang Tahunan MPR 2002. Saat itu beberapa partai politik yang berasas Islam mengajukan pandangan politik untuk kembali kepada Piagam Jakarta (dasar negara Islam). Namun hingga pelaksanaan sidang-sidang tersebut, tidak tampak gereget politik yang benar-benar sebagai perjuangan ideologis. Yang terlihat, usulan itu hanya semacam "pantulan dari bayangan ideologi politik" untuk memuaskan sebagian dari segmen pendukungnya, yang berkeinginan agar partai-partai Islam tersebut memperjuangkan hal itu dalam Sidang Tahunan MPR. Perjuangan tentang gagasan dasar negara Islam justru banyak disuarakan oleh aksi-aksi massa yang berdemonstrasi di depan gedung DPR/MPR Senayan, dengan para pemimpinnya, seperti Abu Bakar Ba'asyir.

Konsep politik berdasarkan pola aliran menjadi menonjol, tatkala kehidupan politik dalam masyarakat bukan didasarkan pada ideologi politik belaka, melainkan antarhubungan organisasi-organisasi sosial dengan kehidupan dari suatu sistem sosial yang kompleks (dari suatu infrastruktur sosial dan kebudayaan di pedesaan dan perkotaan). Karena itu terbentuk suatu aliran politik yang terformulasikan melalui istilah-istilah yang lebih bersifat ideologis.

Sebenarnya perumusan tentang aliran politik di Indonesia telah dinyatakan di dalam pemikiran Soekarno tentang rumpun ideologi utama di Indonesia (nasionalisme, Islam, dan marksisme). Namun klasifikasi tiga kelompok itu dianggap masih mengandung banyak kesulitan. Sebab tiap-tiap kategori sifatnya masih terlalu heterogen. Contohnya, perbedaan yang tajam antara kaum komunis dengan kaum sosialis, kelompok-kelompok yang radikal dan keningratan di kalangan nasionalis, di samping pengaruh dari kehidupan subkultur terhadap kehidupan politik di kalangan Islam.

Di dalam kenyataan, partai-partai politik yang secara ideologis menonjol dan mendapat dukungan mayoritas dari para pemilih dalam Pemilu 1955, seperti PNI, Masyumi, NU dan PKI, ternyata tidak sekadar menggambarkan kehidupan politik yang dipengaruhi oleh ideologi-ideologi politik modern dari Barat. Sebagaimana kesimpulan Kahin (1952) terhadap perkembangan partai politik di awal revolusi, hanya sedikit dari anggota partai politik pendukung republik memahami benar ideologi dan advokasi platform melalui pemimpin mereka.
Dukungan terhadap para pemimpin partai sebagai individual bukan karena persoalan itu. Untuk partai Islam, hal itu lebih disebabkan oleh adanya identifikasi Islam sebagai agama mayoritas penduduk. Karena itu, hubungan ideologi dan platform partai politik dengan pikiran utama para pendukungnya kurang substansial pada masa revolusi. Hal ini berbeda dari kenyataan politik di Barat yang dianggap sebagai sesuatu yang sangat penting.

E. FEITH, SOEKARNO, DAN GEERTZ
Hal seperti itu menyebabkan partai politik menjadi semakin banyak memiliki kandungan yang heterogen. Contohnya keberadaan PNI dan NU, yang berkesan kuat memiliki pengaruh lain (ideologi politik Barat) seperti yang berasal dari unsur tradisi agama ataupun tradisi Jawa. Hal seperti itu dianggap sebagai indikasi adanya dua aliran pemikiran penting di Indonesia, yaitu tradisionalisme Jawa dan sosialisme demokrasi.
Ketegangan antara warisan-warisan tradisional, yakni tradisi Jawa yang terkait erat dengan tradisi Hindu-Buddha serta tradisi Islam, dalam pertemuannya dengan dunia modern dan gagasan-gagasannya, melahirkan klasifikasi lima aliran politik Indonesia, yakni komunisme (PKI), nasionalisme radikal (PNI, NU), Islam (Masyumi, NU), tradisionalisme Jawa (PNI, NU, PKI), dan sosialisme demokrat (PSI, Masyumi, PNI).

Penggolongan demikian, konon menurut Herbert Feith (1970) dianggap mampu mendobrak kesemrawutan pandangan ideologi yang muncul di Indonesia pada awal kemerdekaan, sehingga mampu berkembang menjadi kelompok-kelompok pemikiran yang lebih berarti dan harmonis.
Dari sini, gambaran tentang aliran politik yang tumbuh di Indonesia sebenarnya lebih membawa kita bukan pada penilaian Feith tentang lima aliran politik pemikiran, melainkan pertemuan dan perpaduan antara "kutub politik ideologis" dari Soekarno yang merumuskan nasionalisme, agama, dan komunis, dan "kutub politik sosio-kultural" dari Clifford Geertz (1960) yang merumuskan abangan, priyayi, dan santri. Hal tersebut menyebabkan pemikiran tentang pola aliran dalam politik selalu mendapat tanggapan dan polemik yang kontroversial. Bahkan, kadang partai dapat menjadi sangat eksklusif baik dalam masyarakat politik maupun para pendukung partai itu sendiri.

Hal itu terlihat dari reaksi yang cukup tajam atas kemunculan partai-partai agama pada era reformasi yang selalu dikaitkan dengan kekhawatiran tentang disintegrasi nasional (sehingga mendorong lahirnya model "Islam bawah tangan" seperti PAN dan PKB), atau munculnya persaingan dan klaim politik antara mereka yang lebih merasa sebagai pendukung "nasionalisme murni" dan kelompok-kelompok yang dituding sebagai "nasionalisme PDI-P."

Memang, pola-pola aliran seperti model Soekarno, Geertz, dan Feith, meski menarik secara teoritik, tetapi banyak mendapatkan kritik keras, sering dianggap sudah tertinggal (perkembangan tentang pemikiran politik yang lebih baru). Juga dianggap tidak lagi sebagai suatu yang realistik. Hal tersebut diperkuat pula oleh kenyataan-kenyataan di lapangan bahwa sebenarnya partai-partai politik di Indonesia tidak mampu menggambarkan secara memadai terhadap gagasan-gagasan politiknya. Misalnya, klaim-klaim politiknya terhadap rakyat (sebagai publik dan warga negara pemegang hak pilih dalam pemilu), yang menampilkan identitas diri secara seimbang, antara sikap-sikap politik partai yang rasionalitas ideologis dan tampilan-tampilan kepribadian politik para petinggi partai sebagai implementasinya.

a. Setiap partai politik yang memang benar-benar mengembangkan identitas politiknya, tentunya akan berkemampuan yang fleksibel untuk menyeimbangkan antara kedua tuntutan politik itu. Tampilan ideologis menjadi hal yang sangat penting bagi suatu partai politik, sebagai suatu platform yang menjadi basis perjuangan politiknya di legislatif dan pemerintahan. Sebab ideologi partai dianggap sebagai sistem kepercayaan yang menciptakan pola tingkah laku politik yang penuh makna (sebagai pilihan-pilihan moral dan filosofis yang relatif koheren dan berpengaruh untuk membangun hubungan individu dengan masyarakat. Juga sebagai prinsip moral yang menjadi dasar pemakaian kekuasaan), selain sangat membantu partai untuk memahami sebagian determinan pendapat umum serta merumuskan kepentingan-kepentingan dan pilihan-pilihan politik yang akan diperjuangkan bagi rakyat.

b. Adapun tampilan-tampilan kepribadian politik akan dapat dikontrol melalui tindakan para politikusnya di legislatif (menurut model-model tampilan politikus dengan kepribadian yang dianggap memadai). Menurut Eulau (1962), kepemimpinan legislatif menjadi sangat penting di dalam kekuasaan, yang akan mencerminkan bagaimana penilaian-penilaian tentang dunia nyata para politikus. Mereka memiliki gaya kepemimpinan yang berbeda dalam pertukaran terbatas, tawar-menawar, pembentukan koalisi, kompromi, dan pertukaran umum. Gaya kepemimpinan merupakan suatu fungsi para anggota legislatif ketika masing-masing dirinya berkomunikasi dalam suatu pola interaksi dengan pihak lain. Eulau juga menemukan empat jenis kepribadian para politikus yang sangat khusus, seperti gaya ritual (menaruh perhatian pada kesopanan dan protokol), tribunalis (menganggap dirinya sebagai wakil dari forum rakyat sehingga sikapnya populis), investor (memandang dirinya sebagai seorang pemrakasa kebijaksanaan untuk mengantisipasi masalah-masalah), broker (sebagai perantara yang selalu tampak bersikap netral).

Perkembagan politik dan keadaan partai yang seperti itu, menyebabkan partai yang tumbuh berdasar pola aliran ataupun ideologis hingga Pemilu 2004 cenderung kurang berkembang sehingga tidak menjadi faktor politik yang kuat. Keadaan dari tiap partai lebih terkait dengan soal bagaimana pengalaman mereka (selama suatu rezim kekuasaan), serta basis pendukungnya yang berkembang dari pola perekrutannya (karena adanya fasilitas politik atau fasilitas sosial tertentu yang dapat dibudidayakan).

Hal tersebut sering membawa akibat sampingan (ekses) tertentu. Lemahnya kemampuan kelembagaan dan kepemimpinannya untuk merumuskan ideologi dan tampilan politisnya dalam menjawab persoalan masyarakat secara praksis, mengakibatkan keberadaannya justru sering menjadi beban baru bagi para pendukung dan masyarakatnya. Karena itu wajar jika dalam kenyataan umum, kedudukan dari partai politik menjadi dianggap lebih lemah dari kedudukan sosial masyarakatnya. Apa yang terkandung dari pernyataan itu? Tak lain bahwa hingga kini partai politik ternyata belum berkemampuan yang sifnifikan untuk merumuskan dirinya menjadi pengarah perkembangan dan perubahan-perubahan sosial politik yang dianggap sebagai jalan demokrasi dan kesejahteraan rakyat, sebagaimana dicita-citakan oleh negara Republik Indonesia.

F. REFERENSI
  • Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik.
  • Deliar Noer, Pengantar Pemikiran Politik, CV. Rajawali: Jakarta, 1983.
  • Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., Kemerdekaan Berserikat: Pembubaran Partai Politik dan Mahkamah Konstitusi, Konstitusi Press: Jakarta, 2006.
  • Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2003.
  • MT Arifin, Makalah “Politik Aliran yang Bias”

0 komentar:

Berikan komentar anda disini!

YOUR MESSAGE....