Wednesday, November 18, 2009

0

Perilaku Nasabah Dalam Memilih Produk Gadai

Posted in ,
A. Pengertian Perilaku Nasabah dan Kualitas Produk
1. Perilaku Nasabah
Perilaku konsumen yang tidak dapat secara langsung dikendalikan oleh perusahaan perlu dicari informasinya semaksimal mungkin. Banyak pengertian perilaku konsumen yang dikemukakan para ahli, salah satunya yang didefinisikan oleh Engel dan kawan-kawan (1994) yang mengatakan bahwa perilaku konsumen didefinisikan sebagai suatu tindakan individu secara langsung terlibat dalam usaha memperolehnya, menggunakan, dan menentukan produk dan jasa, termasuk proses pengambilan keputusan yang mendahului dan mengikuti tindakan tersebut.

Paul Peter dan Jerry C.Olson memberikan definisi perilaku nasabah sebagai konsumen bank (consumer behavior) yaitu interaksi dinamis antara pengaruh dan kognisi, perilaku dan kejadian disekitar kita, yaitu tempat manusia melakukan aspek pertukaran didalam hidup mereka.
Menurut Alex S. Nitisemito, perilaku nasabah adalah ilmu yang mencoba mempelajari tingkah laku nasabah sebagai konsumen bank dalam arti tindakannya untuk membeli suatu barang atau jasa perbankan.
Menurut Bearden, perilaku konsumen adalah :
“As the mental and emotional process and the physical activities that people engange in when they select, purchase, use, and dispose of product or seruce to satisfy particular needs and desires”

Artinya:
“Segala tindakan nyata konsumen sebagai proses mental dan emosional pada saat mereka memilih, membeli, menggunakan, bahkan membuang produk atau jasa untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan tertentu”.

Dalam Wikipedia Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa perilaku manusia adalah sekumpulan perilaku yang dimiliki oleh manusia dan dipengaruhi oleh adat, sikap, emosi, nilai, etika, kekuasaan, persuasi, dan atau genetika.
Dari berbagai definisi yang dikemukakan oleh para ahli, maka dapat diambil kesimpulan bahwa secara sederhana, perilaku nasabah mengacu pada perilaku yang ditunjukan oleh para individu dalam membeli dan menggunakan barang dan jasa. Secara garis besar, perilaku konsumen mencakup aktivitas mental dan fisik berkenaan dengan proses mendapatkan, mengonsumsi, dan menghentikan pemakaian produk, jasa, ide, dan atau pengalaman tertentu.
Proses keputusan konsumen bisa diklasifikasikan secara garis besar ke dalam tiga tahap utama, yakni pra pembelian, konsumsi, dan evaluasi purna beli. Tahap prapembelian mencakup semua aktivitas konsumen yang terjadi sebelum terjadinya transaksi dan pemakaian jasa. Tahap konsumsi merupakan tahap proses keputusan konsumen, dimana konsumen membeli dan menggunakan produk atau jasa. Sedangkan tahap evaluasi purnabeli merupakan tahap proses pembuatan keputusan konsumen sewaktu konsumen menentukan apakah ia telah membuat keputusan pembelian yang tepat.
2. Kualitas Produk
Kualitas adalah keseluruhan ciri serta sifat dari suatu produk atau pelayanan yang berpengaruh pada kemampuannya untuk memuaskan kebutuhan yang dinyatakan atau yang tersirat. Ini merupakan kualitas yang berpusat pada konsumen.
Menurut Lupiyoadi, kualitas adalah keseluruhan ciri-ciri dan karakteristik-karakteristik dari suatu produk dan jasa dalam hal kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang telah ditentukan atau bersifat laten.
Secara umum definisi produk adalah sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan. Sedangkan definisi produk menurut Philip Kotler adalah sesuatu yang dapat ditawarkan ke pasar untuk mendapatkan perhatian untuk dibeli, digunakan untuk dikonsumsi yang dapat memenuhi keinginan dan kebutuhan.
Definisi produk menurut Tjiptono adalah segala sesuatu yang dapat ditawarkan produsen untuk diperhatikan, diminta, dicari, dibeli, digunakan, atau dikonsumsi pasar sebagai pemenuhan kebutuhan atau keinginan pasar yang bersangkutan.
Jadi kualitas produk adalah kemampuan produk dalam memenuhi fungsinya. Kualitas produk berkonstribusi besar pada kepuasan pelanggan, retensi pelanggan, pembelian ulang, loyalitas pelanggan, pangsa pasar dan profitabilitas.
Kualitas suatu produk baik berupa barang maupun jasa perlu ditentukan melalui dimensi-dimensinya. Zeithaml et. al. mengemukakan lima dimensi dalam menentukan kualitas produk jasa, yaitu:
a. Realibility, yaitu kemampuan untuk memberikan pelayanan yang sesuai dengan janji yang ditawarkan.
b. Responsives, yaitu respon atau kesigapan karyawan dalam membantu pelanggan dan memberikan pelayanan yang cepat dan tanggap.
c. Assurance, meliputi kemampuan karyawan.
d. Emphaty, yaitu perhatian secara individual yang diberikan perusahaan kepada pelanggan.
e. Tangibles, meliputi penampilan fasilitas fisik.

B. Pengertian Produk Gadai (Rahn)
Istilah yang digunakan fiqh untuk gadai adalah al-rahn, yaitu perjanjian menahan sesuatu barang sebagai tanggungan utang. Secara etimologi, kata al-rahn berarti tetap, kekal, dan jaminan. Menurut terminologi syara’, rahn berarti:
حَبْسُ شَيْءٍ بِحَقٍ يُمْكِنُ اِسْتِفَاؤُهُ مِنْهُ

Artinya:
“Penahanan terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut.”

Rahn menurut Syari’ah adalah menahan sesuatu dengan cara yang dibenarkan yang memungkinkan ditarik kembali. Yaitu menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan Syari’ah sebagai jaminan hutang, sehingga orang yang bersangkutan boleh mengambil hutangnya semuanya atau sebagian. Rahn berarti akad menggadaikan barang dari satu pihak ke pihak lain, dengan uang sebagai gantinya.
Menurut Imam Abu Zakariya al-Anshari dalam kitabnya Fathul Wahhab mendefinisikan rahn sebagai berikut: “menjadikan benda yang bersifat harta sebagai kepercayaan dari suatu utang yang dapat dibayarkan dari suatu utang yang dapat dibayarkan dari (harga) benda itu bila utang tidak dibayar.”
Selanjutnya Imam Taqiyyuddin Abu Bakar Al-Husaini dalam kitabnya Kifayatul Ahyar Fii Halli Ghayati Al-Ikhtisar berpendapat bahwa definisi rahn adalah:
Akad atau perjanjian utang piutang dengan menjadikan harta sebagai kepercayaan atau penguat utang dan yang memberi pinjaman berhak menjual barang yang digadaikan itu pada saat ia menuntut haknya.

Lebih lanjut Imam Taqiyyuddin mengatakan bahwa barang-barang yang dapat dijadikan jaminan utang adalah semua barang yang dapat dijual belikan. Artinya semua barang yang dapat dijual itu dapat digadaikan.
Para ulama fiqh pun mengemukakan beberapa definisi ar-rahn. Ulama Malikiyah mendefinisikannya dengan: Harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat mengikat.
Menurut mereka, yang dijadikan barang jaminan (agunan) bukan saja harta yang bersifat materi, tetapi juga harta yang bersifat manfaat tertentu. Harta yang dijadikan barang jaminan (agunan) tidak harus diserahkan secara aktual, tetapi boleh juga penyerahannya secara hukum, seperti menjadikan sawah sebagai jaminan (agunan), maka yang diserahkan itu adalah surat jaminanya (sertifikat sawah).
Ulama Hanafiyah mendefinisikannya dengan: Menjadikan sesuatu (barang) sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak (piutang) itu, baik seluruhnya maupun sebagainya.
Sedangkan ulama Syafi’iyah dan Hanabilah mendefinisikan ar-rahn dengan: Menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang, yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang berhutang tidak bisa membayar utangnya itu.
Definisi yang dikemukakan Syafi’iyah dan Hanabilah ini mengandung pengertian bahwa barang yang boleh dijadikan jaminan (agunan) utang itu hanyalah harta yang bersifat materi; tidak termasuk manfaat sebagaimana yang dikemukakan ulama Malikiyah, sekalipun sebenarnya manfaat itu, menurut mereka (Syafi’iyah dan Hanabilah), termasuk dalam pengertian harta.
Dari berbagai definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa rahn merupakan suatu akad utang piutang dengan menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syra’ sebagai jaminan, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil utang.
Rahn adalah jenis akad tabarru’, karena apa yang diberikan Rahin (pemilik barang) untuk Murtahin (pemegang barang) bukan atas imbalan sesuatu, ia termasuk transaksi (uqud) ‘ainiyah, dimana tidak dianggap sempurna kecuali bila sudah diterima ‘ain al ma’qud.
Dalam tekhnis Perbankan, akad ini dapat digunakan sebagai tambahan pada pembiayaan yang beresiko dan memerlukan jaminan tambahan. Akad ini juga dapat menjadi produk tersendiri untuk melayani kebutuhan nasabah guna keperluan yang bersifat jasa dan konsumtif, seperti pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Bank atau lembaga keuangan tidak menarik manfaat apapun kecuali biaya pemeliharaan atau keamanan barang yang digadaikan tersebut.

C. Landasan Hukum Gadai Syari’ah
Boleh tidaknya transaksi gadai menurut Islam diatur dalam Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijtihad. Dari ketiga sumber hukum tersebut disajikan dasar hukum sebagai berikut:
a. Al-Qur’an
Dalam surat al-Baqarah, 2:283 Allah berfirman:

Artinya:
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa ar-rahn boleh dilakukan dalam perjalanana dan dalam keadaan hadir ditempat, asal barang jaminan itu bisa langsung dipegang atau dikuasai (al-qabdh) secara hukum oleh pemberi piutang. Maksudnya, karena tidak semua barang jaminan dapat dipegang atau dikuasai oleh pemberi piutang secara langsung, maka paling tidak ada semacam pegangan yang dapat menjamin bahwa barang dalam status al-marhun (menjadi agunan utang). Misalnya, apabila barang jaminan itu berbentuk sebidang tanah, maka yang dikuasai (al-qabdh) adalah surat jaminan tanah itu.
b. As-Sunnah

عَنِ الأَعْمَشِ عَنْ إِبْرَهِيْمَ عَنِ الأَسْوَدِ عَنْ عَائِشَةَ رضِى اللهُ عَنْهَا قَالَتْ : أَنَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمْ اِشْتَرَى مِنْ يَهُوْدِيٍ طَعَامًا وَرَهَنَهُ دَرْعًا مِنْ حَدِيْدٍ {رواه البخارى}

Artinya:
“dari Siti Aisyah r.a. bahwa Rasulullah SAW. Pernah membeli makanan dengan menggadaikan baju besi.”(HR. Bukhari)

Menurut kesepakatan pakar fiqh, peristiwa rasul SAW. Me-rahn-kan baju besinya itu, adalah kasus ar-rahn pertama dalam Islam dan dilakukan sendiri oleh Rasulullah SAW. Kisah yang sama juga diriwayatkan oleh Ahmad ibn Hanbal, al-Bukhari, al-Nasa’i, dan Ibn Majah dari Anas ibn Malik. Dalam riwayat abu Hurairah, itu:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ : لاَ يَغْلَقُ الرَهْنَ مِنْ صَا حِبِهِ الدِي رَهِنَهُ لَهُ غُنْمُهُ وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ. {روالدار قطني}

Artinya:
”Dari Abu Hurairah r.a berkata: rasulullah saw. Bersabda:”Barang yang digadaikan itu tidak boleh tertutup dari pemiliknya yang menggadaikan barang itu, (sehingga mungkin dia) mendapat keuntungannya dan menanggung kerugiannya.” (HR. Daruquthni).

c. Ijma’
Berkaitan dengan pembolehan perjanjian gadai ini, jumhur ulama juga berpendapat boleh dan mereka tidak pernah berselisih pendapat mengenai hal ini. (al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 1985, V: 181). Jumhur ulama berpendapat bahwa disyariatkan pada waktu tidak bepergian maupun pada waktu bepergian, berdasarkan kepada perbuatan Rasulullah SAW dalam hadist tersebut diatas.

d. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1150, yang didalamnya menyebutkan bahwa gadai adalah suatu hak yang diperoleh seseorang yang mempunyai piutang atas suatu barang yang bergerak. Barang yang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh seseorang yang mempunyai utang. Seseorang yang mempunyai utang tersebut memberikan kekuasaan kepada orang untuk menggunakan barang bergerak yang telah diserahkan untuk melunasi utang. Apabila hak yang berhutang tidak dapat memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo.

e. Majelis Ulama Indonesia melalui Dewan Syari’ah Nasional mengenai hukum gadai (rahn) tertuang dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional nomor: 25/DSNMUI/III/2002 tentang Rahn dan Fatwa Dewan Syariah Nasional nomor: 26/DSNMUI/III/2002 tentang Rahn Emas.
Dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional nomor: 25/DSNMUI/III/2002 tentang Rahn menyatakan bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn diperbolehkan dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Murtahin (penerima barang) mempunya hak untuk menahan Marhun (barang) sampai semua utang rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.
2. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada prinsipnya marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin Rahin, dengan tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan perawatannya.
3. Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahin, namun dapat dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin.
4. Besar biaya administrasi dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.
5. Penjualan marhun
a. Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin untuk segera melunasi utangnya.
b. Apabila rahin tetap tidak melunasi utangnya, maka marhun dijual paksa/dieksekusi.
c. Hasil Penjualan Marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan.
d. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban rahin.
Dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional nomor: 26/DSNMUI/III/2002 tentang Rahn Emas menyatakan bahwa:
1. Rahn Emas dibolehkan berdasarkan prinsip Rahn ( lihat Fatwa DSN nomor : 25/ DSN- MUI/III/2002/tentang Rahn).
2. Ongkos dan biaya penyimpanan barang (marhun) ditanggung oleh penggadai (rahin).
3. Ongkos sebagai mana dimaksud ayat 2 besarnya didasarkan pada pengeluaran yang nyata-nyata diperlukan.
4. Biaya penyimpanan barang (marhun) dilakukan berdasarkan akad Ijarah.

D. Rukun dan Syarat Gadai Syari’ah
1. Rukun Gadai Syari’ah
Para ulama fiqh berbeda pendapat dalam menetapkan rukun ar-rahn. Menurut jumhur ulama rukun ar-rahn itu ada empat, yaitu:
a. Shigat (lafal ijab dan qabul)
b. Orang yang berakad (ar-rahin dan murtahin)
c. Harta yang dijadikan agunan (al-marhun)
d. Utang (marhun bih)
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun ar-rahn itu hanya:
a. Ijab
Pernyataan menyerahkan barang sebagai agunan oleh pemilik barang
b. Qabul
Pernyataan kesediaan memberi utang dan menerima barang agunan itu.
Disamping itu, menurut mereka, untuk sempurna dan mengikatnya akad ar-rahn ini, maka diperlukan al-qabdh (penguasaan barang) oleh pemberi utang. Adapun kedua orang yang melakukan akad, harta yang dijadikan agunan, dan utang, menurut ulama Hanafiyah termasuk syarat-syarat ar-rahn, bukan rukunnya.
2. Syarat-Syarat ar-Rahn
Para ulama fiqh mengemukakan syarat-syarat ar-rahn sesuai dengan rukun ar-rahn itu sendiri. Dengan demikian, syarat-syarat ar-rahn meliputi:
a. Persyaratan Aqid (Orang yang berakad)
Syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi orang-orang yang bertransaksi gadai yaitu rahin (pemberi gadai) dan murtahin (penerima gadai).
Pihak yang berakad harus memiliki kecakapan dalam melakukan tindakan hukum, berakal sehat, sudah baligh, serta mampu melaksanakan akad.
Menurut ulama Syafi’iyah, orang yang berakad adalah orang yang telah sah untuk jual-beli, yakni berakal dan mumayyiz, tetapi tidak disyaratkan harus baligh. Dengan demikian, anak kecil yang sudah mumayyiz, dan orang yang bodoh berdasarkan izin dari walinya dibolehkan melakukan rahn.
Menurut ulama Hanafiyah, kedua belah pihak yang berakad tidak disyaratkan baligh, tetapi cukup berakal saja. Oleh sebab itu, menurut mereka, anak kecil yang mumayyiz boleh melakukan akad ar-rahn, dengan syarat akad ar-rahn yang dilakukan anak kecil yang sudah mumayyiz ini mendapat persetujuan dari walinya.
Kecakapan bertindak hukum, menurut jumhur ulama adalah orang yang telah baligh dan berakal. Rahn tidak boleh dilakukan oleh orang yang mabuk, gila, bodoh, atau anak kecil yang belum baligh. Begitu pula seorang wali tidak boleh menggadaikan barang orang yang dikuasainya, kecuali jika dalam keadaan mudarat dan meyakini bahwa pemegangnya yang dapat dipercaya.
b. Syarat Shigat (lafal)
Shigat tidak boleh terkait dengan masa yang akan datang dan syarat tertentu. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa shigat dalam rahn¬ tidak boleh dikaitkan dengan sesuatu. Hal ini karena, karena akad ar-rahn sama dengan akad jual-beli, jika memakai syarat tertentu, syarat tersebut batal dan rahn tetap sah. Misalnya, orang yang berutang mensyaratkan apabila tenggang waktu utang telah habis dan utang belum terbayar, maka ar-rahn itu diperpanjang satu bulan; atau pemberi utang mensyaratkan harta agunan boleh ia manfaatkan.
Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah mengatakan bahwa apabila syarat itu adalah syarat yang mendukung kelancaran akad itu, maka syarat itu diperbolehkan, tetapi apabila syarat itu bertentangan dengan tabiat akad ar-rahn maka syaratnya batal. Kedua syarat dalam contoh di atas (perpanjangan ar-rahn satu bulan dan agunan boleh dimanfaatkan), termasuk syarat yang tidak sesuai dengan tabiat ar-rahn, karenanya syarat itu dinyatakan batal. Syarat yang dibolehkan itu, misalnya, untuk sah-nya ar-rahn itu pihak pemberi utang minta agar akad itu disaksikan oleh dua orang saksi. Sedangkan syarat yang batal, misalnya, disyaratkan bahwa agunan itu tidak boleh dijual ketika ar-rahn itu jatuh tempo, dan orang yang berhutang tidak mampu membayarnya.
c. Syarat Marhun Bih (utang)
Syarat al-marhun bih (utang) adalah:
1. Merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada orang berhutang
Menurut ulama selain Hanafiyah, marhun bih hendaklah berupa utang yang wajib diberikan kepada orang yang menggadaikan barang, baik berupa utang ataupun berbentuk benda.
2. Marhun Bih memungkinkan dapat dibayarkan
Jika marhun bih tidak dapat dibayarkan, rahn menjadi tidak sah, sebab menyalahi maksud dan tujuan dari disyariatkan rahn.
3. Hak atas marhun bih harus jelas
Dengan demikian, tidak boleh memberikan dua marhun bih tanpa dijelaskan utang mana menjadi rahn.
Ulama Hanabilah dan Syafi’iyah syarat sebuah hutang yang dapat dijadikan alas hak atas gadai adalah berupa:
1. Utang yang tetap dan dapat dimanfaatkan.
2. Utang harus lazim pada waktu akad
3. Utang harus jelas dan diketahui oleh rahin dan murtahin.
d. Syarat Marhun (barang yang dijadikan agunan)
Marhun adalah barang yang dijadikan jaminan oleh rahin. Para ulama fiqh sepakat mensyaratkan marhun sebagaimana persyaratan barang dalam jual-beli, sehingga barang tersebut dapat dijual untuk memenuhi hak murtahin.
Ulama Hanafiyah mensyaratkan marhun, antara lain:
a. Dapat diperjualbelikan
b. Bermanfaat
c. Jelas
d. Milik rahin
e. Bisa diserahkan
f. Tidak bersatu dengan harta lain
g. Dipegang (dikuasai) oleh rahin
h. Harta yang tetap atau dapat dipindahkan
Jika ada perselisihan mengenai besarnya hutang antara rahin dan murtahin, maka ucapan yang diterima ialah ucapan rahin dengan disuruh bersumpah, kecuali bila rahin bisa mendatamgkan barang bukti. Tetapi jika yang diperselisihkan adalah mengenai marhun, maka ucapan yang diterima adalah ucapan murtahin dengan disuruh bersumpah, kecuali jika rahin bisa mendatangkan barang bukti yang menguatkan dakwaannya, karena Rasulullah SAW bersabda: “barang bukti dimintakan dari orang yang mengklaim dan sumpah dimintakan dari orang yang tidak mengaku.” (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dengan sanad hasan).
Jika murtahin mengklaim telah mengembalikan rahn dan rahin tidak mengakuinya, maka ucapan yang diterima adalah ucapan rahin dengan disuruh bersumpah, kecuali jika murtahin bisa mendatangkan barang bukti yang menguatkan klaimnya.

0 komentar:

Berikan komentar anda disini!

YOUR MESSAGE....