Sunday, December 6, 2009

0

Pilkada dan Demokrasi Kapitalistik

Posted in , ,
OLEH: H.M. RUSLI ZAINAL, SE., MP

Juni 2005 menjadi hari yang bersejarah bagi Indonesia, pasalnya Indonesia  telah menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah secara langsung (pilkadal). Artinya rakyat langsung memilih calon kepala daerahnya tanpa perwakilan dari anggota legislatif lagi. Banyak opini muncul seputar pelaksanan pilkada ini baik itu menyangkut perangkat hard ware maupun soft ware.
Mau tidak mau pemerintah daerah harus siap menghadapi perhelatan ini dan seyogyanya memberikan kualitas terbaik bagi penyelenggaraan pilkadal. Menurut keterangan Menteri Dalam Negeri Moh. Ma?ruf, kesiapan daerah dalam menyelenggarakan pilkada itu dilihat dari apakah Komisi Pemilihan umum daerah sudah menyusun jadwal atau belum, perencanaan anggaran yang sudah disahkan pada APBD dan konsolidasi antara KPU D, DPR D dan Pemerintah daerah dalam menyiapkan pilkada. ( kompas; 21/3/2005).

Terlepas dari persiapan teknis yang mengundang banyak komentar dari berbagai pihak tentunya tidak membuat kita lupa akan makna substansi dari pesta demokrasi dilevel daerah ini. Pilkada yang diusung secara langsung ini merupakan angin segar bagi tumbuh dan berkembangnya nilai ? nilai demokrasi didaerah. Adanya sinyalemen kuat akan terjadi politik uang ( money politik ) dalam konvensi pencalonan kepala daerah dalam tubuh partai politik dan pada saat kampanye, Pelaksanaan Pilkada yang tidak berkualitas, rendahnya kapabilitas dan akceptabilitas calon yang dimunculkan serta nihilnya tanggung jawab moral ketika kepala daerah terpilih mengindikasikan kepada kita bahwa benih- benih demokrasi didaerah tersebut tidak akan terhindarkan dari praktik ? praktik politik kotor yang akan mengurangi makna demokrasi itu sendiri.

Demokrasi Kapitalistik

Dewasa ini, istilah "demokrasi" mengalami apa yang disebut oleh Donny Gahral Adian SS M.Hum dengan inflasi semiotika. Menurut Donny, Fenomena melimpahnya penggunaan "demokrasi", memiskinkan makna. Saking sering dipakai, sampai-sampai orang lupa apa arti sebenarnya. Akibatnya, siapa saja bisa memakai "demokrasi" sebagai selubung aneka kepentingan jangka pendek. Karena itu, saat transisi ini, pertanyaan ulang tentang demokrasi patut dilontarkan. Mengapa demokrasi? Mengapa sistem itu layak diperjuangkan sebagai platform politik bangsa ini.

Bagi saya tidak usah terlalu berbelit ? belit tentang makna demorkasi. Sederhana saja. Demokrasi menjamin bahwa kekuasaan tidak dieksekusi tanpa keterlibatan publik. Keterlibatan guna memastikan bahwa kekuasaan digunakan pada tempatnya dan bersandar pada prinsip-prinsip humanistis seperti kesetaraan, kebebasan dan keadilan. Singkatnya, demokrasi adalah satu-satunya sistem yang mampu merajut jaring pengaman guna melindungi hak- hak dasar dari infiltrasi kekuasaan.

Tentu tidak ada yang menyangkal bahwa pilkadal adalah wujud demokratisasi yang mulai berdiri kokoh dinegeri ini. Harapan kita masyarakat akan dengan bebas menentukan pemimpin yang visioner dan mampu meningkatkan kemakmuran didaerah mereka masing ? masing. Rakyat pun akan semakin dewasa dalam memilih calon pemimpin mereka karena pasca kenaikan BBM oleh presiden SBY, tidak sedikit masyarakat yang kecewa kepada SBY yang notebenennya adalah presiden hasil pemilihan umum secara langsung oleh rakyat. Dus, pemilih rasional yang diharapkan mampu menentukan masa depan daerah dan negara ini.

Sistem yang digunakan dalam pemilihan kepala daerah akan menentukan kualitas kepala daerah. Berdasar undang ? undang No.32 tahun 2004 mekanisme pancalonan kepala daerah hanya memberikan satu saluran yaitu melalui partai politik. Disini partai politik kembali menancapkan cakarnya untuk meraup keuntungan materi dengan melakukan politik dagang sapi. Logikanya siapa saja yang mencalonkan diri harus melalui mekanisme konvensi partai. Maka bagi calon yang memberikan dana besar akan memperoleh kemudahan lulus konvensi. Celakanya, kontestan pemenang konvensi partai politik akan mengeluarkan dana besar lagi pada proses kampanye dan membeli suara guna memenangkan pilkadal.

Dengan logika ini, sudah barang tentu bagi masyarakat yang tidak memiliki dana besar walaupun potensial dan disenangi rakyat tidak akan mungkin bisa menjadi kepala daerah. Dus, pesta demokrasi hanya dirasakan oleh para pemilik modal ( capital ) sementara rakyat kecil hanya menjadi sapi perahan bagi segelintir orang yang memiliki kepentingan. Maka demokrasi tidak lagi berjalan sebagaimana mestinya. Karena hanya orang kaya saja yang menikmati indahnya demokrasi kalaupun hal itu masih pantas disebut demokrasi.

Karena demokrasi hanya dinikmati oleh segelintir orang dengan capital besar, maka demokrasi tidak lagi merakyat dan mengedepankan kesetaraan dan keadilan. Pada aras ini, wajar jika muncul pertanyaan apakah demokrasi masih relevan untuk dipertahankan?. Sungguhpun begitu kita tidak usah pesimistik. Jiwa besar dan visioner tetap harus melekat dalam setiap penduduk sembari melakukan kritikan dan mengajukan solusi yang tepat untuk keluar dari lubang permasalahan.

Good Governance ??

Runtuhnya Orde baru pada 21 mei 1998, melahirkan alam baru bagi Indonesia. Orde Reformasi hadir sebagai suguhan menarik dan paling banyak dinikmati masyarakat terutama bagi pemegang kekuasaan. Di sini persoalan tidak berhenti dan selalu menghantui perjalanan reformasi hingga detik ini. Tuntutan reformasi menghendaki lahirnya pemerintahan yang bersih, jujur, transparan, supremasi hukum, kehidupan politik yang demokratis, berkeadilan baik itu sosial, ekonomi, politik dan hukum. Hingga lahirnya undang ? undang otonomi daerah tahun 1999 dimana persoalan ? persoalan tersebut masih terus dirasakan dari pusat hingga daerah.

Menurut hemat saya pilkadal nanti akan berhubungan dengan good governance. Artinya pilkada harus melahirkan good governance dalam kontek kedaerahan yang kemudian meluas hingga menasional. wacana mengenai good governance sebenarnya bukanlah barang baru. Kalau dulu, good governance ditafsirkan sama dengan good government, berarti pemerintah diidentikkan dengan negara. Sekarang terlihat perbedaan yang jelas karena governance ditunjang oleh beberapa pilar, yaitu state, civil society, and private sector. Pada aras ini, pemerintah hanyalah salah satu aktor dari governance. Namun, peranan pemerintah tetaplah penting karena proses pengambilan kebijakan tidaklah bisa dilepaskan dari keberadaan sebuah pemerintahan.

Pembicaraan tentang good governance, mau tidak mau, harus merujuk kepada faktor yang terpenting yaitu memberantas kasus korupsi, kolusi dan nepotisme dan persoalan lain yang membutuhkan revitalisasi. Terbongkarnya kasus KKN salah satu lembaga legislatif di Sumatrera Barat membuat kita harus lebih kritis dalam mengontrol kebijakan pemerintah daerah. Dibutuhkan political will yang benar ? benar nyata untuk memberantas penyakit yang sudah akut itu.

Meminjam pendapat Prof. DR Munir Mulkhan, Guru besar Universitas Islam Negeri Sunan Kali Jaga Jogjakarta, bahwa idealitas pemerintahan bersih dan transparan, kehidupan politik demokratis, penegakan hukum, keadilan sosio-ekonomi-politik bagi rakyat kebanyakan adalah tahap perubahan transformatif. ?Indonesia baru? yang ditopang dengan daerah ? daerah yang juga ?baru? dengan tekanan demokratis dan bermartabat, berkeadilan, bersih dan sejahtera, perlu ditegakkan mulai sekarang juga dan mulai dari diri sendiri.

Catatan penutup: Harapan ?

Pemilihan kepala daerah yang jujur, adil, bebas, rahasia dan tentu terhindar dari kasus money politic dan praktik politik kotor lainlah yang akan melahirkan pemimpin idaman masyarakat. Kriteria Pemimpin yang bersih, jujur, berani, berbasis intelektual, agamis, berpengalaman, akuntabel, memiliki tred record baik, tentu menjadi kebanggaan bersama. Jika kriteria itu telah terpenuhi oleh calon kepala daerah bukan tidak mungkin Clean Government and Good Governance akan benar ? benar terwujud.

Pemilihan kepala derah nanti akan berpotensi melahirkan ?raja ? raja besar? didaerah yang sulit dikritisi oleh masyarakat. Kemunculan raja besar ini terjadi akibat kuatnya klaim legitimasi kepala daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Terlebih lagi tidak ada mekanisme mudah bagi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk menjatuhkan kepala daerah hasil pemilihan langsung oleh rakyat. Realita ini menuntut kita berfikir kritis dan solutif untuk memecahkan persoalan.

Sebagai langkah konkritnya, rakyat diharapkan memiliki kemampuan untuk memposisikan diri sebagai aktor sosial (social agents) yang kritis, rasional, aktif, kreatif dan produktif dalam melahirkan berbagai alternatif guna keluar dari sistem hegemonik dan sekaligus melakukan counter-culture terhadap setiap kemapanan dan ketidakadilan. Untuk itu, hendaknya mereka berani melakukan pembacaan kritis dan pembongkaran terhadap segala realitas hegemonik tersebut. Semoga Pilkada benar ? benar melahirkan pemimpin yang diidam ? idamkan, Amin ? .

print this page

0 komentar:

Berikan komentar anda disini!

YOUR MESSAGE....