Setelah melewati serangkaian pergulatan dan perjuangan hidup, dalam diri setiap orang terdapat arketipe: the innocent,
yaitu ingin menemukan kembali serta menjaga suasana batin semasa
kanak-kanak yang merasa bersih, terbebas dari beban dosa dan salah.
Bukankah yang khas dan indah pada
anak-anak adalah keceriaan, spontanitas, dan kelugasan menjalani hidup?
Dalam konteks orang dewasa dan orang tua, istilah innocent lebih tepat diganti dengan ungkapan bagaimana meraih hidup akuntabel (accountable life).
Hidup yang tidak merasa dikejar dosa dan utang serta merdeka dari
berbagai tekanan, ancaman, dan intimidasi. Jika dikaitkan dengan sikap
altruisme, jauh akan lebih melegakan dan membahagiakan hidup kalau
seseorang bederma benar-benar diambil dari harta yang halal, bukan
bederma dari harta haram dengan maksud mencuci dosa atau kamuflase
sosial, padahal dia seorang koruptor.
Artinya akuntabilitas harta dan perilaku
keseharian itu sesungguhnya menjadi dambaan setiap orang sehingga dalam
dirinya melekat arketipe: the innocent. Oleh karenanya kita
selalu memandang sedih, ikut bersimpati dan campur kesal ketika melihat
beberapa mantan pejabat tinggi yang sudah purnatugas masih berurusan
dengan polisi atau KPK karena terbukti melakukan korupsi di masa lalu.
Siapa pun orangnya, ketika menapaki hari tua ingin hidup tenang,
bahagia, terbebaskan dari perkara perdata dan pidana. Anak-anaknya pun
ingin sekali melihat orang tua mereka hidup bahagia,menikmati hari senja
setelah sebelumnya bekerja keras membesarkan mereka.
Kini giliran anaknya mengasuh orang
tuanya. Namun sesungguhnya naluri orang tua selalu saja ingin memberi
dan melindungi anak-anaknya sampai kapan pun. Di sinilah kekuatan cinta
kasih yang tulus dalam hubungan keluarga. Masing-masing, baik anak
maupun orang tua, ingin saling memberi dan melayani terhadap yang lain.
Kembali pada anugerah kemerdekaan hidup, ada doa yang diajarkan
Rasulullah: Ya Allah, aku berlindung kepada- Mu dari jeratan utang dan
cengkeraman orang (Allahumma inni a’dzubika min ghalabatiddain, wa qahrirrijaal).
Siapa pun sepakat, hidup terjerat utang
akan merampas kebahagiaan. Begitu pun hidup dibuntuti ancaman dan
tekanan akan merampas ketenangan. Ini berlaku dalam konteks pribadi,
keluarga, institusi maupun negara.Berbahagialah masyarakat dan negara
yang hidup terbebas dari berbagai ancaman utang luar negeri, syukur-
syukur malah jadi negara donor. Beruntunglah masyarakat dan negara yang
tidak memiliki ancaman musuh, baik di dalam maupun luar negeri. Untuk
meraih status hidup akuntabel sungguh merupakan agenda perjuangan yang
tak pernah henti.
Mungkin saja seseorang terbebas
utang-piutang secara materi. Namun setiap orang pasti memiliki utang
moral terhadap banyak pihak, misalnya saja kepada orang tua, guru, dan
orang-orang yang pernah menjadi bagian dari hidupnya. Dalam ajaran
agama, salah satu jalan untuk melunasi utang-utang moral adalah dengan
mendoakan mereka dan menjaga silaturahmi. Dalam jalinan silaturahmi yang
sehat, yang muncul suasana saling men-support, mendoakan, dan berbagi
sehingga hidup menjadi lebih terasa ringan dan riang dijalani. Utang
kita yang lebih banyak justru terhadap Tuhan.
Begitu melimpah anugerah hidup dengan
segala fasilitasnya, tetapi kita kurang pandai mensyukuri dan
memanfaatkan semuanya secara optimal di jalan yang benar dan baik. Jadi,
jika ingin meraih hidup merdeka, mari kita lunasi utang-utang baik yang
bersifat vertikal maupun horizontal. Yang menarik direnungkan, utang
vertikal kepada Tuhan dalam hal cacat dalam beribadah, misalnya utang
berpuasa, bisa disubsidi silang dengan amal sosial-horizontal semisal
menyantuni anak-yatim piatu yang miskin.
Tapi utang yang bersifat horizontal,
urusan perdata dan pidana, mesti dilunasi melalui jalur hukum sosial.
Betapapun orang rajin berhaji, umrah, dan salat tak menjamin putih
dosa-dosa sosialnya selama utangutangnya belum dilunasi.Hak anak Adam
mesti diselesaikan sesama anak Adam. Tuhan sendiri tentu tidak
memerlukan pertolongan manusia. Apakah manusia akan mengimani dan
menyembah- Nya ataukah akan mengingkari dan melawan-Nya, kebesaran Tuhan
tidak akan terpengaruh.
Namun jika diperhatikan firman-Nya dalam
kitab suci, siapa yang akan membayar kebaikan Tuhan, maka hendaknya
diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang tengah dalam kesusahan.Jadi, jika
utang sesama manusia harus dibayarkan kepada manusia, tetapi bayaran
utang kepada Tuhan dianjurkan untuk ditransformasikan menjadi cinta
kasih dan kepedulian serta pertolongan yang diterima dan dirasakan oleh
hamba- hamba-Nya.
Begitulah jalan yang dibentangkan Tuhan untuk meraih status innocent and accountable life, salah satu struktur mental yang selalu muncul dalam diri manusia dan menuntut pemenuhan.
|
0 komentar:
Berikan komentar anda disini!