Justru Pidato Presiden SBY-lah yang Keliru dan Tidak Patut
Posted in Artikel Bebas, OPINI
Oleh: DANIEL HT
Dalam
pidatonya pada pembukaan acara Musyawarah Perencanaan Pembangunan
Nasional 2012, di Jakarta, Kamis (26/04/2012), Presiden SBY memberikan
arahan dan instruksi dalam rangka gerakan penghematan penggunaan BBM
bersubsidi (Premium dan Solar) secara nasional. Yang sampai hari ini
masih tetap menjadi BBM (Bikin Bingung Masyarakat). Bagaimana masyarakat
tidak bingung, kalau mulai dari menteri-menterinya sampai presidennya
sampai hari ini masih bingung kapan bisa dilaksanakan dan bagaimana cara
realisasinya secara efektif.
Dalam
pidatonya tersebut Presiden SBY kembali menyalahkan pihak yang mampu
dan kaya sebagai penyebab utama semakin membengkaknya anggaran subsidi
yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk membayar subsidi BBM
tersebut. SBY bilang, anggaran negara yang seharusnya dipakai untuk
mensejahterakan rakyat miskin terpaksa berkurang banyak sekali karena
dipakai untuk menutup beban anggaran subsidi tersebut. Ini akibat dari
orang-orang yang mampu dan kaya, bahkan sangat kaya membeli BBM
bersubsidi.
“Menjadi
tidak adil, menjadi tidak patut, dan keliru manakala saudara-saudara
yang sudah mampu dan kaya, bahkan sangat kaya, membeli BBM bersubsidi
yang akhirnya mengurangi anggaran negara untuk membangun rumah sakit,
entah sekolah, entah jalan, mengurangi kemiskinan, dan sebagainya,” kata Presiden SBY (Kompas.com, 26/04/2012).
Pidato ini menyesatkan.
(Mega) Korupsilah yang Menguras APBN
Taruhlah
bahwa memang benar pemerintah harus membayar subsidi untuk BBM yang
sangat besar. Tidak seperti yang disangkal oleh beberapa pengamat,
semacam Kwik Kwan Gie (BBM Disubsidi adalah Omong Kosong).
Tetapi, apakah adil dan patut pemerintah, dalam hal ini Presiden SBY
mempersalahkan para pengguna mobil tertentu membeli BBM bersubsidi itu?
Semua
orang tahu, bahwa selama ini yang membuat anggaran negara bukan cuma
sangat, sangat berat, tetapi compang-camping parah, mulai dari APBN
sampai dengan APBD adalah karena begitu banyaknya kasus-kasus (mega)
korupsi. Setiap kasus jumlahnya mencapai miliaran rupiah sampai dengan
triliun rupiah. Padahal kasus-kasus seperti ini jumlahnya sampai ratusan
kasus!
Kasus Nazaruddin cs
saja sudah menggerogoti uang negara dari APBN paling sedikit 6 triliun
rupiah. Itu baru yang diketahui KPK. Entah berapa banyak lagi yang belum
terungkap. Dan itu baru “satu grup penggarong”. Belum dengan
kasus-kasus mega korupsi lainnya yang selalu melibatkan pejabat tinggi
negara.
Dari
semua kasus (mega) korupsi ini tak ada satupun yang terlihat serius
dituntaskan. Pelakunya pun dihukum dengan sangat super ringan. Rata-rata
hanya 2-4 tahun penjara.
Kasus-kasus
mega korupsi ini termasuk di dalamnya adalah persengkolan-persengkolan
pejabat tinggi negara dengan korporasi-korporasi asing untuk
bersama-sama menguras kekayaan alam Indonesia demi kepentingan
pribadinya. Belum lagi salah urus pengelolaan pertambangan, hasil hutan,
dan sebagainya, yang terus-menerus membuat negara defisit dalam
APBN-nya.
Kasus-kasus
(mega) korupsi yang dimaksudkan di atas inilah yangtelah sebenarnya
dengan efektif merampas hak-hak rakyat banyak untuk disejahterakan oleh
pemerintah. Kalau tidak ada kasus-kasus itu, uangnya bisa lebih dari
cukup dipakai mensejahterakan rakyat. Entah itu membangun rumah sakit,
entah sekolah, entah jalan, mengurangi kemiskinan, dan sebagainya. Bukan
gara-gara para orang mampu/kaya yang membeli BBM bersubsidi. Kalau
dibandingkan dengan jumlah uang dari kasus-kasus mega korupsi dan
sebagainya itu, subsidi BBM yang terpaksa dilakukan oleh pemerintah itu
mungkin tidak ada seperseratusnya.
SBY Menuding Tanpa Punya Standar
Presiden
SBY mengatakan bahwa tidak adil, tidak patut, dan keliru orang yang
mampu/kaya/sangat kaya membeli BBM bersubsidi. Maka, kita bertanya
kepada dia, apakah pemerintah sudah mempunyai definisi standar baku
untuk menggolongkan orang yang termasuk mampu/kaya berdasarkan mobil
yang dimilikinya itu? Untuk menentukan hal ini saja, pemerintah sampai
hari ini masih plin-plan, kok.
Katanya,
mau didasarkan pada besaran cc-nya mobil, yakni 1.500 cc. Mobil dengan
kapasitas mesin 1.500 cc ke atas tidak boleh lagi membeli BBM
bersubsidi. Sedangkan di bawah 1.500 cc, dibolehkan. Karena mobil di
bawah 1.500 cc itu dianggap dimiliki oleh orang kurang/tidak mampu.
Padahal, dalam kenyataannya tidak ada mobil yang persis 1.500 cc, yang
ada adalah 1.490-an cc. Kata Menteri ESDM Jero Wacik, mobil yang
1.490-an cc digolongkan sebagai 1.500 cc. Aneh. Kenapa tidak sekalian
saja dibuat ketentuan yang pasti dengan menentukan batasan minimal itu
1.490 cc saja?
Apakah
benar mobil yang ber-cc di bawah 1.500 cc adalah mobil-mobil murah,
mobilnya orang kurang/tidak mampu? Silakan periksa, misalnya, Daihatsu
Xenia yang 1.298 cc harga di Jakarta mencapai Rp. 180.300.000. Ford
Fiesta 1.388 cc mencapai Rp. 224.250.000. Suzuki Ertiga 1.398 cc
harganya mencapai Rp. 165.000.000. Avanza 1.298 cc mencapai Rp.
170.700.000, dan seterusnya. Belum lagi kalau dimasukkan harga Toyota
Yaris, Honda Jazz, dan sejenisnya yang harga mencapai Rp. 227.950.000
untuk Yaris, dan Rp. 225.000.000 untuk jazz. Apakah ini harga
mobil-mobil untuk orang kurang/tidak mampu?
Sebaliknya
ada mobil-mobil yang memang tergolong mewah dengan cc besar, di atas
2.500 cc, bahkan 3.000 cc, tetapi karena memang berbahan bakar solar,
salahkan pemiliknya membeli solar yang termasuk BBM bersubsidi itu?
Misalnya, Kijang Innova Diesel yang harganya di atas Rp 300 juta,
Fortuner Diesel yang harganya di atas Rp 400 juta, dan Land Cruiser
Diesel Rp 1,4 miliar lebih.
Justru Pidato SBY-lah yang Tidak Patut
Kembali
lagi ke pidato SBY itu. Kita bertanya lagi kepadanya, apakah memang
betul pengguna BBM bersubsidi terbesar atau mayoritas adalah mobil-mobil
di atas 1.500 cc, yang oleh pemerintah dibilang mobil orang kaya itu?
Apabila kita melihat data penjualan
mobil periode 2005 sampai dengan Maret 2012 di bawah ini, maka ternyata
justru mobil di bawah 1.500 cc –lah yang jauh lebih banyak daripada
mobil di atas 1.500 cc. Dengan perkataan lain mobil di atas 1.500 cc
sekalipun misalnya, semuanya 100 persen membeli BBM bersubsidi masih
jauh kalah banyak daripada mobil di bawah 1.500 cc.
Menurut
Litbang “Kompas” yang mengrilis data tersebut berdasarkan data Gaikindo
2012, data ini belum termasuk bus, pikap/truk, dan kabin ganda. Maka,
apabila golongan kendaaran ini dimasukkan juga, dan memang harus
dimasukkan, maka akan semakin besar kendaraan yang memang diperbolehkan
membeli BBM bersubsidi.
Jumlah
itu akan menjadi semakin membesar lagi ketika kita memasukkan lagi
jumlah kendaraan roda dua/sepeda motor yang jumlahnya jauh lebih besar
daripada semua kendaaran roda empat atau lebih dijadikan satu.
Berdasarkan data Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI),
penjualan seluruh merek dan jenis speda motor untuk periode Januari –
Maret 2012 ini saja sudah mencapai 1.931.677 unit (Tribunnews.com, 18/04/2012).
Menurut
data dari AISI (http://www.aisi.or.id/statistic/), jumlah penjualan
sepeda motor seluruh merek dari tahun 2005 - 2011 adalah sebagai
berikut:
- Tahun 2005 : 5.074.185 unit,
- Tahun 2006: 4.428.274 unit,
- Tahun 2007: 4.688.263 unit,
- Tahun 2008: 6.216.831 unit,
- Tahun 2009: 6.215.831 unit,
- Tahun 2010: 7.398.644 unit,
- Tahun 2011: 8.043.535 unit.
Kesimpulannya
adalah selama ini jumlah pemakai BBM bersubsidi mayoritas adalah
kendaraan bermotor yang memang dan seharusnya diizinkan membeli BBM
bersubsidi. Sedangkan mobil di atas 1.500 cc adalah pembeli minoritas
BBM bersubsidi. Ini masih dikurangi lagi dengan mobil-mobil ber-cc besar
dan mewah yang membeli BBM non-subsidi. Tidak semua mobil golongan ini
membeli BBM bersubsidi.
Kesimpulan
lainnya adalah ternyata pidato Presiden SBY itu tidak akurat, kalau
tidak mau dikatakan bohong. Bohong bahwa orang-orang mampu/kaya/sangat
kayalah yang bertanggung jawab atas semakin membengkaknya anggaran
negara untuk BBM bersubsidi.
Sekalipun
misalnya itu benar, apakah para pemilik mobil itu patut dipersalahkan
ketika mereka membeli BBM bersubsidi? Apakah ada undang-undang yang
melarang sebelumnya? Bukankah BBM itu memang dijual untuk siapa saja?
Lalu kenapa tiba-tiba ketika masalah BBM bersubsidi ini menjadi semakin
ruwet, pemerintah, Presiden SBY dengan begitu entengnya menjadikan
mereka sebagai kambing hitamnya? Padahal yang bikin masalah ini semakin
ruwet justru pemerintah dan DPR, yang terus-menerus membuat masalah BBM
bersubsidi ini sebagai komoditi politiknya. Akibatnya, menjadi seperti
sekarang. Rakyatlah yang menanggung akibatnya. Dunia bisnis pun menjadi
tidak pasti. Harga sembako pun telanjur naik, tak mau turun lagi. Apakah
itu semuanya gara-gara orang mampu membeli BBM bersubsidi? Sungguh,
janganlah percaya bualan ini.
Jadi,
sebenarnya justru pidato SBY itulah yang tidak adil, keliru, dan tidak
patut, karena berisi informasi tidak benar alias berbohong. Semakin
tidak patut ketika ketidakbecusannya mennyelesaikan masalah BBM
bersubsdii ini justru tanggung jawabnya dilemparkan ke para pembeli BBM
bersubsidi tertentu itu. ***
0 komentar:
Berikan komentar anda disini!