Sunday, December 6, 2009

0

Mengkaji Ulang NKRI

Posted in , , , ,
Oleh: Sutoro Eko*

WACANA tentang federalisme hampir hilang dari permukaan. Tetapi wacana tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak pernah hilang dalam kancah perdebatan tentang negara-bangsa Indonesia dan otonomi daerah.
Melalui revisi UU No 22/1999 yang disiapkan Depdagri, pemerintah berupaya kembali memperteguh NKRI sebagai kerangka institusional (yang tidak bisa ditawar) bagi otonomi daerah. Berpijak pada tafsir UUD 1945, pendukung NKRI menegaskan, konsepsi otonomi daerah di Indonesia mengandung nilai unitaris dan nilai desentralisasi teritorial. Nilai unitaris diwujudkan dalam pandangan, Indonesia tidak akan mempunyai kesatuan pemerintah lain di dalamnya yang bersifat "negara". Kesatuan pemerintah daerah merupakan hasil pembentukan pemerintah, bahkan dapat dihapus pemerintah lewat proses hukum. Desentralisasi dimanifestasikan dalam bentuk penyerahan atau pengakuan atas "urusan" pemerintahan, khususnya yang terkait kepentingan masyarakat setempat. Kebijakan desentralisasi dilakukan pemerintah, sedangkan penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan pemerintah daerah.

KONSEP NKRI yang ditonjolkan dalam naskah revisi UU No 22/1999 tentu membawa implikasi terhadap desain desentralisasi, otonomi daerah, hubungan pusat-daerah hingga akuntabilitas pemda. Bahkan penguatan NKRI cenderung mengarah pada penegasan hierarki, resentralisasi, dan reduksi terhadap makna otonomi daerah. Desentralisasi dan otonomi daerah tidak dipahami sebagai pengakuan terhadap daerah dan pembagian kekuasaan-kewenangan, tetapi penyerahan wewenang penanganan urusan pemerintah oleh pemerintah kepada daerah untuk menjadi urusan otonomi daerah dalam kerangka NKRI. Maka, hak dan kewenangan telah direduksi hanya menjadi "urusan" yang diserahkan pusat. Desentralisasi juga direduksi menjadi sekadar pembentukan daerah dan penyelenggaraan otonomi daerah.
Naskah revisi menegaskan pemilihan kepala daerah secara langsung, tetapi logika demokrasi yang dibangun menjadi tidak konsisten saat akuntabilitas ditarik ke atas. Kepala daerah maupun kepala desa tidak bertanggung jawab secara horizontal maupun ke bawah, tetapi ke atas. Gubernur bertanggung jawab kepada Presiden melalui Mendagri, Bupati/Wali Kota bertanggung jawab kepada Mendagri melalui Gubernur, dan Kepala Desa bertanggung jawab kepada Bupati melalui Camat.
Maka, NKRI mengharuskan desentralisasi dan demokrasi lokal yang terkendali dan terpusat. Menurut pendukungnya, peneguhan NKRI untuk memelihara integrasi nasional (persatuan-kesatuan) tanpa diganggu separatisme maupun demokrasi lokal yang kebablasan.
SEJAUH mana argumen itu bisa dipertanggungjawabkan? Kita harus belajar pada sejarah dan pengalaman di negeri lain. Bagi saya memperdebatkan dua bentuk negara (kesatuan versus federal) secara dikotomis, apalagi mendramatisasi NKRI, tidak relevan lagi. Sejarah membuktikan, sentralisme NKRI untuk tujuan membangun integrasi nasional justru yang menimbulkan bahaya disintegrasi. Perlawanan daerah mulai dari Sumbar dan Sulsel, gerakan merdeka Aceh dan Papua, kemerdekaan Timor Timur, sampai federalisme Riau, merupakan bukti kerapuhan sentralisme NKRI.
Di negara lain, faham negara kesatuan tidak dijadikan sebagai berhala. Kebanyakan negara yang menganut sistem kesatuan menghadapi kuatnya tantangan federalisasi atau devolusi. Devolusi telah berkembang menjadi bentuk baru distribusi kekuasaan secara teritorial, yang menggabungkan antara desentralisasi dan federalisme asimetris. Di banyak negara kesatuan, sebagian wilayah negara telah disiapkan menjadi unit federal, tanpa mengubah bentuk negara dan daerah tidak diubah menjadi negara bagian yang berdaulat. Sebagai contoh adalah devolusi di Inggris, yang menempatkan Skotlandia, Wales, dan Irlandia menjadi unit federal, sebagaimana Papua dan Aceh di Indonesia. Cina juga memberikan otonomi khusus kepada Hongkong. Kasus Italia memperlihatkan, klaim federalisme yang dipromosikan partai lokal Lega Nord telah mengusung proses inovasi desentralisasi untuk membagi kekuasaan lebih besar dari pusat kepada daerah.
Lontaran kritik terhadap NKRI bukan berarti harus mengubah negara kesatuan menjadi negara serikat (federal). Dikotomi kesatuan-federal harus mulai ditinggalkan karena menghadapi tantangan pertarungan antara sentralisme-otoritarisme versus desentralisasi-demokrasi. Isu pertarungan antara sentralisme-otoritarisme versus desentralisasi-demokrasi sebenarnya lebih menonjol ketimbang dikotomi federal-kesatuan.
Uni Soviet, misalnya, menerapkan sistem federal bergaya sentralistik-otoriter, yang akhirnya dihancurkan kekuatan desentralisasi-demokrasi dan diikuti dengan disintegrasi. Fakta ini memperlihatkan, penyebab disintegrasi Soviet bukan sistem federalnya, tetapi formasi negara yang sentralistik-otoriter. Sementara pergolakan melawan sentralisme-otoritarian juga meluas di banyak negara kesatuan di Asia, yang diikuti perluasan desentralisasi-demokrasi. Cina, Korsel, Thailand, dan Filipina merupakan contoh kasus. Indonesia mengikuti garis yang sama. Artinya, isu utama bukan dikotomi negara kesatuan-federal atau peneguhan sentralisme melalui negara kesatuan, tetapi bagaimana rebuilding the nation-state dan memperkuat desentralisasi-demokrasi.
PEMERINTAH dan kalangan nasionalis tak perlu membuat fatwa secara dramatis terhadap negara kesatuan dengan dalih untuk memperkuat integrasi nasional. Tantangan Indonesia kini adalah bagaimana melakukan pembangunan kembali terhadap nation-state melalui kontrak sosial baru antara pusat dan kekuatan lokal, serta memperdalam desentralisasi guna memberi pengakuan terhadap lokalitas, mengembangkan demokrasi lokal, memperbaiki dan mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat lokal, mengembangkan potensi dan prakarsa lokal, serta meningkatkan keadilan pembagian kekuasaan dan kekayaan antara pusat dan daerah.
Konsepsi desentralisasi itu tentu belajar pada sejarah. Kita tahu, Indonesia tidak lahir begitu saja sejak pergerakan nasional, sumpah pemuda, proklamasi, maupun revolusi fisik 1945-1950. Sebelum ada Indonesia telah ada daerah-daerah kerajaan otonom yang umumnya bergolak menentang kolonialisme.
Pembentukan Indonesia tidak diawali dengan penyatuan, apalagi penundukan, terhadap daerah-daerah atau penyerahan cek kosong daerah-daerah terhadap RI. Berbagai daerah yang amat beragam itu telah memberi dukungan penuh pada pergerakan nasional hingga revolusi fisik mempertahankan Indonesia, dan mereka secara sukarela bergabung (bersatu) pada Indonesia, yang disatukan oleh kolonialisme Belanda sebagai musuh bersama (common enemy) dan negara-bangsa Indonesia sebagai perekat bersama (common denominator). Dengan demikian, pengorbanan, dukungan, kesukarelaan, kebersamaan, persatuan, dan kontrak sosial semua daerah bekas jajahan Belanda di Nusantara mempunyai kontribusi besar terhadap pembentukan RI.
Pemerintah tidak bisa mengabaikan sejarah itu dalam memaknai desentralisasi. Desentralisasi tak boleh dimaknai berdasar teori-teori modern tentang relasi antarstruktur pemerintahan. Desentralisasi bukan sekadar pembentukan wilayah dalam kerangka NKRI, tetapi yang paling dasar adalah pengakuan terhadap daerah (hak, identitas lokal, budaya, entitas politik, dan sumber daya ekonomi). Pengakuan ini menjadi dasar pembagian (sharing) kekuasaan-kekayaan secara seimbang dan adil antara pusat dan daerah.
Kini desentralisasi dan otonomi daerah bisa digunakan sebagai arena untuk membangun kembali negara-bangsa Indonesia. Upaya besar ini tidak cukup dilakukan hanya dengan pengelolaan isu-isu administratif (kewenangan, urusan, keuangan, kepegawaian, pembinaan, pengawasan dan lain-lain), tetapi harus ditempuh dengan kontrak sosial dan transformasi kultural yang lebih otentik.
Kita harus membuka wacana dalam ruang publik yang lebih dialogis. Pemerintah harus bersedia belajar bersama dengan daerah dan masyarakat lokal. Ketika berkuasa, Abdurrachman Wahid sebenarnya telah menempuh langkah-langkah ini melalui perluasan wacana kritisnya tentang pluralisme, lokalitas, identitas lokal, persatuan, dan seterusnya. Ke depan, semua wacana ini harus terus dikembangkan sebagai bagian agenda transformasi kultural, seraya melampaui (beyond) isu-isu administratif dalam otonomi daerah.

*Ketua STPMD "APMD" dan Direktur Institute for Research and Empowerment (IRE), Yogyakarta
URL Source: KOMPAS.COM

0 komentar:

Berikan komentar anda disini!

YOUR MESSAGE....