undefined
undefined
undefined
Tantangan Demokrasi di Dunia Muslim
Posted in Artikel Bebas, Dalam Negeri, OPINIPendahuluan
Dewasa ini, perbincangan tentang demokrasi di Dunia Muslim seakan-akan tidak pernah surut seiring dengan perkembangan zaman, kendatipun perbincangan tersebut sudah ada sejak awal di era modern. Apakah demokrasi itu sendiri bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam dan Dunia Muslim? Pertanyaan tersebut tidak dapat dijawab tanpa didiskusikan lebih dalam. Atau paling tidak, pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan cara mengkaji kembali aspek historis Islam dari zaman klasik hingga saat ini.
Demokrasi itu sendiri memiliki banyak definisi. Tapi, entah definisi mana yang kita pakai, secara sederhana demokrasi berarti sebuah sistem pemerintahan yang menganut paham dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Demokrasi juga, bagi beberapa kalangan tertentu, terbagi ke dalam dua kategori. Pertama, “demokrasi substantif” dan kedua, “demokrasi prosedural” (Saiful Mujani, 2006). Bagi orang-orang yang tidak puas dengan sistem demokrasi yang ada di Indonesia cenderung mengatakan bahwa demokrasi secara prosedural sudah terpenuhi tapi secara substantif belum, padahal demokrasi yang diharapkan adalah “demokrasi substantif.”
Dalam Dunia Muslim, demokrasi selalu menjadi perdebatan dan jarang mendapat tempat. Bahkan, demokrasi dianggap bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Apakah demikian? Maka, pada kesempatan ini teramat menarik apabila kita mendiskusikan hal tersebut bersama-sama dengan makalah yang telah kami sajikan.
Demokrasi dan Dunia Muslim
Dalam sumber rujukan yang telah dibaca tentang Tantangan Demokrasi di Dunia Muslim,[1] kita dapat menyimpulkan bahwa Dunia Muslim (negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam) terbagi ke dalam dua bagian yakni Dunia Arab Muslim dan Dunia non-Arab Muslim. Pembagian ini dilihat berdasarkan perkembangan demokrasi yang mencolok di antara keduanya. Demokrasi di Dunia Arab Muslim sejak 1970-an cenderung tidak berkembang dan tidak mengalami kemajuan dalam keterbukaan politik, respek terhadap HAM, dan transparansi. Sedangkan demokrasi di Dunia non-Arab Muslim sebaliknya, seperti Albania, Bangladesh, Djibouti, Gambia, Indonesia, Mali, Niger, Nigeria, Senegal, SierraLeone, Turki, dan Iran. Meski demokrasi di negara-negara ini terkadang goyah tapi hasrat dan gejolak untuk berdemokrasi sangat besar sekali.[2]
Walaupun demokrasi tidak dianut oleh semua negara yang termasuk ke dalam Dunia Muslim tapi kita dapat melihat titik cerah (bright spot) masa depan demokrasi dari negara-negara yang termasuk ke dalam Dunia Muslim ─ yang menganut demokrasi. Dengan demikian kita dapat melihat bahwa Islam secara inheren kompatibel dengan demokrasi.
Tantangan Demokrasi di Dunia Muslim
Pada tanggal 18-20 Maret 2002 di Jakarta, pernah diadakan sebuah konferensi internasional “The Challenge of Democracy in the Muslim World.” Konferensi yang diselenggarakan oleh The Mershon Center Ohio State University, PPIM IAIN Jakarta dan The Asia Foundation ini telah menghadirkan tidak kurang 15 ahli dengan reputasi internasional untuk membahas kasus-kasus dan pengalaman demokrasi di negara-negara Muslim. Pembahasan ini pada dasarnya berangkat dari teori dan pendekatan dalam kajian demokrasi di Dunia Muslim dan dimensi internasional demokratisasi. Setelah itu baru dibahas studi kasus tentang demokrasi di negara-negara yang termasuk ke dalam Dunia Muslim seperti Mesir, Arab Saudi, Iran, dan lain-lain.
Kenapa demokrasi sulit tumbuh dan berkembang di Dunia Muslim? Apakah demokrasi tidak pernah memiliki kesempatan untuk mewujudkan dirinya sendiri di Dunia Muslim? Paling tidak, ada lima faktor yang menyebabkan demokrasi tidak pernah berkembang dan tidak memiliki kesempatan untuk mewujudkan dirinya sendiri di Dunia Muslim.
Pertama, kelemahaan dalam infra-struktur dan prasyarat dalam pertumbuhan demokrasi. Sebagian besar Negara Muslim terbelakang dalam ekonomi dan pendidikan. Sebagian di antaranya memang benar-benar miskin; tetapi juga terdapat negara-negara yang memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Tetapi kelompok Negara Muslim terakhir ini termasuk ke dalam kategori Weberian “soft states” di mana patrimonialisme (patron-client), korupsi, kronisme dan nepotisme sangat merajalela sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi dan mendistorsi perkembangan sosial-budaya. Sebagian lagi dari negara-negara ini merupakan “rentier state” di mana hasil kekayaan alam dimonopoli negara untuk kemudian “dirente” negara kepada rakyat, sehingga membuat mereka tergantung pada penguasa. Akibatnya, tidak ada insentif bagi negara untuk mendengarkan aspirasi rakyat dan, sebaliknya, tidak ada insentif bagi rakyat untuk menuntut partisipasi politik.
Kedua, masih kuatnya pandangan normatif-teologis tentang kesatuan agama (dîn) dan negara (dawlah). Pandangan yang dianut masih cukup banyak Muslim ini berasal dari teori politik klasik Islam (fiqh al-siyâsah) dalam di masa kini teraktualisasi eksperimen “negara Islam” (al-dawlat islâmiyyah) pada satu pihak dan gagasan khilâfah pada segi lain. Dalam banyak segi, eksperimen dan gagasan kesatuan agama dan negara tidak kompatibel dengan demokrasi. Yang terpenting di antara inkompatibilitas itu adalah bahwa dalam al-dawlat al-Islâmiyyah dan khilâfah kedaulatan tertinggi adalah kedaulatan Tuhan yang intinya merupakan vox dei vox populi (suara Tuhan suara rakyat), sementara pada Negara demokrasi kedaulatan berada pada rakyat (vox populi vox dei, suara rakyat suara Tuhan). Pada tingkat hukum, vox dei itu diaktualisasikan dalam syariah.
Ketiga, masih dominannya kultur politik tradisional yang berpusat pada kepemimpinan keagamaan kharismatis, yakni ulama, kiai, dan sebagainya yang ditaklidi secara buta oleh sebagian umat Islam.[3] Terdapat banyak ulama dan kiyai yang ahli dalam konsep fiqh al-siyâsah yang masih menggunakan politik klasik yang telah ada sekian lama seperti jihad, baiat, dan lain sebagainya tanpa melihat relevansi dan kompabilitasnya kembali pada masa kini. Penggunaan konsep-konsep tersebut dalam kepentingan politik pada dasarnya tidak kompatibel lagi dengan demokrasi.
Keempat, kegagalan negara-negara Muslim dalam mengadopsi dan mempraktekkan demokrasi secara genuine dan otentik. Misalnya, banyak negara-negara Muslim yang mengadopsi demokrasi namun dalam memecahkan masalah-masalah dan tantangan yang mereka hadapi, terkadang mereka tidak menggunakan cara-cara yang demokratis. Bahkan, lebih dari itu, banyak dari mereka yang memecahkan masalah-masalah dan tantangan yang mereka hadapi dengan kekerasan dan terorisme negara yang pada akhirnya menciptakan lingkaran kekerasan yang tiada akhir. Lebih berbahaya lagi, banyak pemerintahan negara yang demikian didukung oleh Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya sehingga menghilangkan kepercayaan kepada demokrasi dan menyebabkan alienasi bagi negara-negara Muslim yang bersangkutan.
Kelima, tidak berfungsinya atau lemahnya civil society. Dalam pandangan dunia, segala unsur yang berkaitan dengan ciri maupun masyarakat Madani sebagian besar terdapat di dalam negara-negara Muslim. Tapi kebanyakan dari mereka tidak mampu memainkan peran instrumentalnya dalam pertumbuhan dan perkembangan demokrasi, apa karena mereka mengalami disorientasi karena keterlibatan mereka sendiri secara langsung maupun tidak dalam politik praktis.[4]
Kesimpulan
Mempertimbangkan kelima faktor yang menghambat pertumbuhan dan konsolidasi demokrasi di negara-negara Muslim di atas, maka tantangan yang dihadapi oleh mereka dalam menggapai demokrasi yang genuine dan otentik adalah hal yang teramat sulit. Tapi walaupun demikian, keberhasilan untuk menggapai cita-cita tersebut bukanlah sesuatu hal yang mustahil dan tak mungkin. Nilai-nilai maupun titik-titik terang dalam sebuah sistem politik dan kenegaraan yang pada dasarnya sudah demokratis, didukung oleh kebebasan dalam berpendapat maupun berserikat, meningkatnya perhargaan terhadap HAM serta pluralitas, dan masyarakat Madani adalah modal awal perlu dijaga dan diberdayakan untuk mencapai keberhasilan yang telah kita cita-citakan. Semua ini, memiliki kontribusi yang besar terhadap pembentukan good governance yang pada suatu saat dapat merevitalisasi dan mengembalikan kepercayaan terhadap demokrasi.
0 komentar:
Berikan komentar anda disini!