Sunday, December 6, 2009

0
undefined undefined undefined

Demokrasi, Supremasi Sipil, dan Tentara

Posted in , ,
Oleh: Juwono Sudarsono*

Wacana tentang demokrasi, supremasi sipil, dan peran tentara amat diwarnai pemikiran negara-negara Barat yang menang pada Perang Dunia II (1939-1945) di Eropa dan Asia.
Prinsip umum demokrasi menurut negara Barat adalah:
Pertama, tentara tunduk kepada kewenangan sipil yang dipilih melalui sistem kepartaian dalam pemilihan umum yang bebas dan rahasia;
Kedua, tentara adalah alat negara yang melaksanakan pertahanan dan keamanan dengan mengutamakan pertahanan luar. Ketertiban dan keamanan dalam negeri terutama urusan polisi, jaksa, pengadilan, dan badan sipil lain yang memelihara keamanan dan ketertiban umum;

Ketiga, tentara tidak boleh terlibat ”politik praktis” karena budaya politik yang demokratis mendahulukan peran partai sebagai saka guru demokrasi.
Pengalaman negara Barat
Purbasangka atas pelibatan tentara dalam demokrasi dilandasi pengalaman negara-negara Barat melawan fasisme-Nazisme Jerman dan fasisme-militerisme Jepang selama 1939-1945.
Sepanjang Perang Dingin 1947-1991, model Barat menawarkan gagasan, demokrasi Timur (model Soviet, model China) bukan hal yang patut ditiru oleh negara sedang berkembang.
Runtuhnya komunisme di Uni Soviet dan Eropa Tengah (1989-1992) memperkuat kesan, model demokrasi Barat adalah panutan yang layak ditiru.
Sepanjang 1950-1970-an, demokrasi model Barat diterapkan di sejumlah negara Asia dan Afrika dalam konteks kesejarahan, geopolitik, dan kebudayaan yang berbeda dengan perkembangan sejarah Amerika dan Inggris.
Presiden Soekarno gencar menentang ”demokrasi Barat” pada tahun 1953-1958. Setelah ia berkelana ke mancanegara dan melihat berbagai jenis demokrasi di RRC, Vietnam, Afrika, dan Amerika Latin, Soekarno menghendaki tentara Indonesia berperan dalam politik nasional melalui kekaryaan, paham yang mendasari pendirian Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) Oktober 1964.
Pilihan nama ”karya” dan ”kekaryaan” sengaja dilakukan karena istilah itu ada dalam UUD 1945 asli. Lagi pula, pengalaman buruk politik kepartaian selama demokrasi parlementer cenderung menyamakan partai politik dengan ”politik jegal-menjegal” yang mengganggu pembangunan nasional.
Demokrasi Terpimpin
Tahun 1950-an-1960an kekisruhan demokrasi parlementer di Indonesia, Pakistan, Thailand, Myanmar, dan sejumlah negara Afrika serta Amerika Latin menandakan, demokrasi dan peran tentara ditentukan situasi kesejarahan, geopolitik, dan budaya.
Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959 mengembalikan ”Revolusi Indonesia ke jalan yang benar”, mengubah wacana dari Demokrasi parlementer ke ”Demokrasi Terpimpin” dan ”Ekonomi Terpimpin”. Ia kecewa dengan sistem ekonomi liberal yang tak terkendali karena cenderung menguntungkan mereka yang kuat modal, kuat teknologi, dan kuat ilmu pengetahuan.
Para pemikir tentara Indonesia tahun 1957-1958 menyusun doktrin dwifungsi yang merupakan penjabaran pemikiran ”tentara nasional”, ”tentara rakyat”, dan ”tentara pejuang” dari masa kejuangan tahun 1945-1950.
Semua itu adalah cikal bakal dari yang kini disebut ”sishankamrata” dalam Pasal 30 Undang-Undang Dasar Negara 1945 hasil empat kali amandemen 2001-2003. Penerapan dwi fungsi selama Orde Baru menandakan kandasnya cita-cita pimpinan sipil tahun 1950-an yang ingin menjalankan demokrasi Barat dengan peran tentara yang tunduk pada ”supremasi sipil”.
Presiden Soekarno memanfaatkan peran tentara sebagai pengimbang terhadap Partai Komunis Indonesia semasa ia berkuasa penuh 1959-1966. Tetapi, Soekarno kurang tekun menangani persoalan ekonomi yang diperlukan guna menopang progam-program politiknya.
Penekanannya yang berlebihan terhadap ”politik sebagai panglima” menghasilkan ”politik mercusuar” yang tidak didukung kinerja ekonomi yang memadai. Demokrasi Terpimpin dan Ekonomi Terpimpin tumbang dalam krisis ekonomi dan inflasi 650 persen selama 1964-1965.

Mesin politik
Presiden Soeharto selama 1967-1998 berhasil membangun mesin politik melalui tentara, birokrasi, dan Golkar untuk memberi isi pada gagasan stabilitas politik sebagai prasyarat pembangunan ekonomi berkelanjutan.
Antara tahun 1976 dan 1996, PDB per kapita Indonesia naik dari 250 dollar AS menjadi 1.300 dollar AS. Sebanyak 70 juta orang Indonesia dientaskan dari kemiskinan absolut. Indonesia swasembada beras tahun 1984 dan menjadi contoh bagi negara-negara Asia dan Afrika lain yang berpenduduk lebih dari 150 juta.
Namun, keberhasilan ekonomi tidak diikuti pembangunan politik memadai sehingga keabsahan pemerintahan Orde Baru tumbang dalam badai krisis ekonomi keuangan Juli 1997-Mei 1998.
Kini, lebih dari tujuh tahun usai Mei 1998 dan setelah beratus seminar, lokakarya, dan simposium ”transisi demokrasi”, orang masih bertanya-tanya.
Pertama, apakah konsolidasi organisasi partai politik pasca-Mei 1998 sudah jalan?
Kedua, apakah pengaderan pimpinan partai di pusat, di cabang, dan di ranting telah dilaksanakan oleh pimpinan partai politik?
Ketiga, apakah pendanaan dan keuangan partai sudah jauh lebih baik daripada partai politik tahun 1950-an?
Saat pencalonan presiden dan wakil presiden menjelang pemilu legislatif 5 April 2004 dan putaran pertama pemilihan presiden 5 Juli 2005, sebagian pemimpin sipil dari partai politik besar sempat menjajak Panglima TNI sebagai calon wakil presiden. Mereka tidak memiliki rasa percaya diri untuk menentukan wakil presiden dari kalangan ”sipil murni”, sebagaimana digembar-gemborkan pasca-Mei 1998.

Konflik Partai
Kegagalan paling mendasar para pimpinan partai politik adalah bahwa tak seorang pun dari mereka yang telah membenahi organisasi partai sebagai sarana demokrasi. Maraknya pecat-memecat antarpengurus partai politik yang melanda semua partai besar (Partai Golkar, PDI-P, PKB, PPP, dan PAN) selama tujuh tahun terakhir membuktikan kegagalan konsolidasi partai. Lebih celaka lagi, berbagai survei awal tahun 2005 menunjukkan, partai politik dan DPR RI adalah lembaga-lembaga yang paling korup dalam penyelenggaraan negara selama 2001-2004.
Demokrasi politik perlu diperkuat demokrasi ekonomi. Adalah kurang pantas menyebut diri sebagai negara demokrasi apabila dari 220 juta rakyat Indonesia, 36 juta masih hidup di bawah garis kemiskinan, 9,9 juta mengalami pengangguran terbuka, dan 15 juta keluarga masih memerlukan bantuan langsung tunai (BLT).
Pemberdayaan partai politik, lembaga swadaya nasional, kalangan profesional, organisasi pemuda, serta masyarakat madani umumnya masih harus dibangun guna memperkokoh pilar-pilar demokrasi sipil.
Indonesia baru pantas disebut negara demokrasi jika sedikitnya 60 persen-70 persen penduduk Indonesia hidup di atas garis kemiskinan. Dan jika ketimpangan antara kaya dan miskin jauh berkurang dari keadaan sekarang.
Sejak 2004 Tentara Nasional Indonesia telah rela meninggalkan panggung politik praktis. Jenderal TNI (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono selama menjadi Menko Polkam (2000-2004), Laksamana TNI Widodo Adi Sutjipto (Panglima TNI 1999-2002), dan Jenderal TNI Endriartono Sutarto (Panglima TNI 2002-sekarang) dengan bijak mengayomi transisi politik nasional selama masa-masa sulit 1999-2004. Mereka membuka peluang bagi pemimpin sipil yang berkualitas agar membenahi organisasi partai politiknya dalam kurun waktu 5-10 tahun mendatang.
Para pemimpin sipil yang sama sekali bukan berlatar belakang militer harus bertekad, konsolidasi demokrasi politik dan ekonomi akan dijalankan dengan setekun-tekunnya.
Terpulang pada mereka, apakah dalam 10 atau 15 tahun mendatang konsolidasi sipil—parpol, LSM, masyarakat madani pada umumnya—dilaksanakan melalui pemantapan organisasinya masing-masing.
Makna ”demokrasi”, ”supremasi sipil” dan ”kendali atas tentara” hanya akan bergema jika partai politik membuktikannya lewat kinerja nyata di lapangan.

* Mantan Menteri Pertahanan RI Periode 2004 - 2009 (Kabinet Indonesia Bersatu I)


0 komentar:

Berikan komentar anda disini!

YOUR MESSAGE....