undefined
undefined
undefined
Otonomi Daerah Wujud Demokratisasi
Posted in HUKUM TATA NEGARAOleh: Surjadi Soedirdja
Otonomi daerah adalah wujud upaya demokratisasi di bidang pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi kewenangan. Ujung-ujungnya adala rakyat diberi prakarsa untuk mengembangkan daerahnya sendiri. Namun demikian, demokrasi itu tetap harus berdasarkan pada peraturan dan hukum yang berlaku, karena pada prinsipnya demokrasi berisi jug penghormatan terhadap hukum.
Demikian dikemukakan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Surjadi Soedirdja saat diwawancarai Kompas di Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma, Jumat (22/12) pagi, sesaat sebelum bertolak ke Aceh
bersama Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri. Ia ditanya seputar otonomi daerah dalam kaitannya dengan upaya demokratisasi di Indonesia. Berikut petikan wawancaranya;
Bagaimana kaitan otonomi daerah dan demokratisasi?
"Benar sekali bahwa otonomi daerah merupakan bagian integral dari proses dalam rangka reformasi. Reformasi yang sedang berlangsung di Republik ini benang merahnya demokratisasi. Sesungguhnya berbagai
macam aspek kehidupan, bukan hanya politik, kita sekarang ini secara sadar menggarap pembangunan demokrasi. Demokratisasi bidan pemerintahan wujudnya adalah otonomi daerah."
Kenapa disebut begitu?
"Karena di situ terjadi sebuah perubahan yang cukup mendasar dari sentralisasi ke desentralisasi. Kalau kita personifikasikan, dari kekuasaan seseorang, kewenangan seseorang, dibagi-bagi ke bawah. Daerah diberi kebebasan-kebebasan menurut undang-undang untu berprakarsa membangun daerahnya sendiri, mengembangkan potensi menjad kekuatannya."
Akan tetapi seperti lepas kendali, misalnya dengan banyaknya kerusuhan menyusul pemilihan bupati. Lalu, bagaimana mengatur koridornya?
"Kita perlu memahami sebuah perjalanan yang panjang dari kehidupan berbangsa dan bernegara, karena masa sekarang tidak lepas dari masa lalu, masa datang kita tentukan hari ini. Kalau saya bicara reformasi, itu benang merahnya demokratisasi. Otonomi adalah demokratisasi bidang pemerintahan. Apa selama ini kita tidak berdemokrasi?"
Sesungguhnya upaya berdemokrasi sudah panjang kita lakukan. Wong Pancasila itu demokratis, wong jiwa dan semangat UUD 1945 juga demokratis. Kita bangun sejak kita merdeka, tetapi kita gagal. Niat awalnya membangun demokrasi, karena ada yang kurang pas pada waktu lalunya. Tetapi ujung-ujungnya jadi otoriter.
"Nah, masa itu, kan, cukup lama. Begitu ada era reformasi, semua terbuka. Oleh karena itu, mari kita batasi kebablasan ini atau bebas yang tidak ada koridor, lalu menghalalkan semua cara. Akhirnya kita terjebak pada pengertian demokrasi yang salah, yaitu demokrasi itu identik dengan memperjuangkan kepentingan masing-masing, bukan memperjuangkan kepentingan rakyat. Maka terjadilah ekses-ekses, gejolak pemilihan kepala daerah."
Kenapa itu sampai terjadi?
"Padahal, aturannya jelas, kewenangannya jelas. Kewenangan untuk memilih gubernur ada pada DPRD dan dikonsultasikan kepada presiden melalui Mendagri, karena gubernur itu wakil pemerintah pusat di daerah. Akan tetapi, Presiden Abdurrahman Wahid mengatakan kepada saya, ''Pak Surjadi, kita, kan, sedang belajar demokrasi, beri kesempatan kepada rakyat memilih pemimpinnya sendiri.'' Termasuk gubernur di mana kita (sebenarnya) mempunyai kewenangan, kita tidak turut campur. Kita anggap semacam proses pembelajaran. Di daerah tingkat II jelas-jelas dikatakan itu dilakukan DPRD. Tidak ada campur tangan Mendagri. Mendagri hanya mengesahkan pengangkatannya."
Untuk apa itu?
"Untuk memenuhi administrasi negara. Anda diangkat supaya mendapat honor, kan, perlu dicatat. Hanya itu. Tetapi kenapa sering terjadi ramai-ramai, karena kita belum mengadopsi sifat dan watak demokrat. Apa itu? Mau dan mampu menghargai orang lain. Esensinya itu. Sekarang itu masih belum. Kalau orang menang, mbok dihargai, dan juga hargai kekalahan."
Seperti Amerika Serikat?
"Ya, ini saya sangat bersyukur. Dalam gonjang-ganjing kita belajar demokrasi, ada contoh yang cukup bagus bahwa apabila ada persoalan-persoalan dalam demokrasi, itu kembalikan ke hukum. Al Gore (kandidat Presiden AS dari Partai Demokrat) pasti kecewa kepingin jadi presiden keluar tenaga, pikiran, dan dana, tetapi karena dia sudah mengadopsi jiwa demokrasi yang menghargai hukum dan menghargai orang yang menang, dia terima. Bahkan dia menyerukan kepada pendukungnya mari bersatu."
Kita belum. Oleh karena itu, jangankan diduga ada money politics-kah, cacat hukumkah, yang kalah tidak terima. Kalau masih tidak terima okelah, tetapi ini lalu menggunakan pendukungnya untuk memaksakan kehendak. Lalu bahkan tawuran.
"Saya, baik sebagai warga negara atau sebagai Mendagri, harus punya jiwa besar. Saya mengatakan, ''Oh ya, ini on going process. Bangsaku baru sampai taraf di situ.'' Tetapi kita tidak boleh putus asa, harus sabar, ulet, dan konsisten membangun demokrasi."
Kok, ada kesan seperti terputus antara pusat dan daerah, sedangkan kita mengedepankan Negara Kesatuan RI?
"Sesungguhnya tidak. Apabila setiap orang visinya tentang NKRI itu benar bahwa NKRI itu buat saya, pemerintah, dan semua orang Indonesia, adalah final. Kalaupun sekarang ada gejolak di sana-sini, marilah kita pandang ini sebagai suatu dinamika atau koreksi terhadap kesalahan masa lalu. Mari kita yakinkan orang yang mau berpisah itu dengan mengembangkan dialog."
Contohnya bagaimana?
"Misalnya DPRD sebuah provinsi merasa kewenangan sepenuhnya ada di DPRD. DPRD bebas melakukan apa saja. Ia lalu menetapkan tata tertib. Tata tertib itu kewenangannya DPRD, tetapi dibatasi oleh UU yang berlaku. Ini ada yang kebablasan, UU-pun ditabraknya. Ini kejadian sungguhan.
Misalnya ada tata tertib setelah pemilihan bupati/wali kota kertas suara dibakar. Padahal, itu melanggar UU Arsip Negara. Hukum itu produk politik, tetapi begitu jadi hukum, politik harus tunduk pada hukum, karena prosesnya demokratis. Ditentukan oleh lembaga legislatif. Kalau sudah terjadi, siapa pun tidak boleh semaunya. Oleh karena itu, demokrasi yang baik harus taat hukum.
Kedua, demokrasi menghormati hak asasi. Sekarang ini, kan, ada pemaksaan kehendak, tidak peduli rumahnya dibakar atau teraniaya asal interest-nya.
Ketiga, etika moral. Orang gampang sekali memfitnah dan meng-kuyo-kuyo yang kita bisa baca sehari-hari.
Keempat adalah menghormati hak-hak intelektual."
Jadi, sekali lagi, otonomi daerah ini merupakan agenda nasional yang harus didukung semua pihak, karena kita dan jajaran Depdagri, setelah 55 tahun merdeka, tidak mau gagal lagi membangun demokrasi. Kalau gagal lagi, kayak apa nanti? (bur)
from: www.kompas.com
0 komentar:
Berikan komentar anda disini!