Thursday, November 5, 2009

0

KONSTITUSI DAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

Posted in , ,
Oleh: Alwan Pariadi Munthe
(Ketua Umum Forum Komunikasi Alumni Daar al Uluum (FKADU) Jakarta)

A. Pengertian, Tujuan, dan Hakikat Konstitusi
Dari catatan sejarah klasik terdapat dua perkataan yang berkaitan erat dengan pengertian kita sekarang ten­tang konstitusi, yaitu dalam per­kataan Yunani Kuno poli­teia dan perkataan bahasa Latin constitutio yang juga berkaitan dengan kata jus. Dalam kedua perkataan poli­teia dan constitutio itulah awal mula gagasan konstitu­sio­nalisme diekspresikan oleh umat manusia. Kata politeia dari kebu­daya­an Yunani dapat disebut yang paling tua usianya. Pengertiannya secara luas mencakup

“all the innumerable characteristics which determine that state’s peculiar nature, and these include its whole economic and social texture as well as matters govern­mental in our narrower modern sense. It is a purely descriptive term, and as inclusive in its meaning as our own use of the word ‘constitution’ when we speak gene­rally of a man’s constitution or of the constitu­tion of matter.”[1]
Dalam bahasa Yunani Kuno tidak dikenal ada­nya istilah yang mencerminkan pengertian ka­ta jus ataupun constitutio sebagaimana dalam tra­disi Romawi yang datang kemudian.[2] Pengertian konstitusi di zaman Yunani Kuno masih bersifat materiil, dalam arti belum berbentuk seperti yang dime­nger­ti di zaman mo­dern sekarang. Namun, per­bedaan antara konstitusi de­ngan hukum biasa sudah tergambar dalam pembedaan yang dila­kukan oleh Aristoteles terhadap pengertian kata politea dan nomoi.[3] Pengertian politiea dapat dise­pa­dankan dengan pengertian konstitusi, sedang­kan nomoi adalah undang-undang biasa.[4]
Di Inggris, peraturan yang pertama kali dikaitkan dengan istilah konstitusi adalah “Consti­tutions of Cla­rendon 1164” yang disebut oleh Henry II sebagai const­i­tutions, avitae constitu­tions or leges, a recordatio vel recognition,[5] me­nyangkut hubungan antara gereja dan pemerintahan negara di masa pemerintahan kakeknya, yaitu Henry I. Isi peraturan yang disebut sebagai kon­stitusi tersebut masih bersifat eklesiastik, meskipun pemasyarakatannya dila­ku­kan oleh pemerintahan seku­ler. Namun, di masa-masa selanjutnya, istilah constitutio itu sering pula dipertukarkan satu sama lain dengan istilah lex atau edictum untuk menyebut berbagai secular administrative enactments. Glanvill sering meng­guna­kan kata constitution untuk a royal edict (titah raja atau ratu). Glanvill juga mengaitkan Henry II’s writ creating the remedy by grand assize as ‘legalis is a constitutio’,[6] dan menyebut the assize of novel disseisin sebagai a re­cog­nitio sekaligus sebagai a constitutio.[7]
Dari sini, kita dapat memahami pengertian konsti­tusi dalam dua konsepsi. Pertama, konsti­tusi sebagai the natural frame of the state yang dapat ditarik ke belakang dengan mengaitkannya dengan pengertian politeia da­lam tradisi Yunani Kuno. Kedua, konstitusi dalam arti jus publicum regni, yaitu the public law of the realm.
Dalam perdaban negara-negara Islam juga dapat dilacak mengenai perkembangan konstitusi. Salah satunya ialah penyusunan dan penandatanganan per­setujuan atau perjanjian bersama di antara kelom­pok-kelompok penduduk kota Madinah untuk ber­sama-sama membangun struktur kehidupan ber­sama yang di kemudian hari berkembang men­jadi kehidupan ke­ne­gara­an dalam pengertian modern sekarang. Naskah per­setujuan bersama itulah yang selanjutnya dikenal sebagai Piagam Madinah (Madinah Charter).

Piagam Madinah ini dapat disebut sebagai piagam tertulis pertama dalam sejarah umat manusia yang dapat dibandingkan dengan penger­tian konstitusi dalam arti modern. Piagam ini dibuat atas persetujuan bersama antara Nabi Muhammad SAW dengan wakil-wakil pen­du­duk kota Madinah tak lama setelah beliau hijrah dari Mekkah ke Yastrib, nama kota Madinah sebelum­nya, pa­da tahun 622 M. Para ahli menyebut Piagam Madinah ter­­sebut dengan berbagai macam istilah yang berlainan satu sama lain.[8]
Para pihak yang mengikatkan diri atau terikat dalam Piagam Madinah yang berisi per­janjian masya­rakat Madinah (social contract) tahun 622 M ini ada tiga belas kelompok komu­nitas yang secara eksplisit disebut dalam teks Piagam. Ketiga belas komunitas itu adalah (i) kaum Mukminin dan Muslimin Muhajirin dari suku Quraisy Mekkah, (ii) Kaum Mukminin dan Muslimin dari Yatsrib, (iii) Kaum Yahudi dari Banu ‘Awf, (iv) Kaum Yahudi dari Banu Sa’idah, (v) Kaum Yahudi dari Banu al-Hars, (vi) Banu Jusyam, (vii) Kaum Yahudi dari Banu Al-Najjar, (viii) Kaum Yahudi dari Banu ‘Amr ibn ‘Awf, (ix) Banu al-Nabit, (x) Banu al-‘Aws, (xi) Kaum Yahudi dari Banu Sa’labah, (xii) Suku Jafnah dari Banu Sa’labah, dan (xiii) Banu Syuthaybah.
Konstitusi secara sederhana oleh Brian Thompson dapat diartikan sebagai suatu dokumen yang berisi aturan-aturan untuk menjalankan suatu organisasi.[9] Organisasi dimaksud bera­gam bentuk dan kompleksitas struktur­nya. Dalam konsep konstitusi itu ter­cakup juga pengertian peraturan tertulis, kebiasaan dan konvensi-konvensi ke­negaraan (ketatanegaraan) yang me­nen­tukan susunan dan kedu­dukan organ-organ negara, meng­atur hubungan antar organ-organ negara itu, dan mengatur hubungan organ-organ negara tersebut dengan warga Negara.[10]
Dalam pengertian modern, ne­gara pertama yang dapat dikatakan menyusun konsti­tusinya dalam satu naskah UUD seperti sekarang ini adalah Amerika Serikat (United States of America) pada tahun 1787.[11] Sejak itu, hampir semua negara menyusun naskah undang-undang dasarnya. Beberapa nega­ra yang dianggap sampai sekarang dikenal tidak memiliki Undang-Undang Dasar dalam satu nas­kah tertulis adalah Inggris, Israel, dan Saudi Arabia.[12] Undang-Undang Da­sar di ketiga negara ini tidak pernah dibuat tersendiri, tetapi tumbuh menjadi konstitusi dari aturan dan pengalaman praktik ketata­negaraan.[13]
Dasar keberadaan konstitusi adalah kesepa­katan umum atau persetujuan (consensus) di antara mayo­ritas rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara. Organisasi negara itu diperlukan oleh warga masyarakat politik agar kepentingan mereka bersama dapat dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme yang disebut negara.[14] Kata kunci­nya adalah konsensus atau general agreement.[15]

B. Sejarah Pembentukan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Pemikiran mengenai pentingnya suatu Mahkamah Konstitusi (MK) telah muncul dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia sebelum merdeka. Pada saat pembahasan rancangan UUD di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), anggota BPUPKI Prof. Muhammad Yamin telah mengemukakan pendapat bahwa Mahkamah Agung (MA) perlu diberi kewenangan untuk membanding Undang-Undang. Namun ide ini ditolak oleh Prof. Soepomo berdasarkan dua alasan, pertama, UUD yang sedang disusun pada saat itu (yang kemudian menjadi UUD 1945) tidak menganut paham trias politika. Kedua, pada saat itu jumlah sarjana hukum kita belum banyak dan belum memiliki pengalaman mengenai hal ini.[16]
Berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) diawali dengan diadopsinya ide MK (Constitutional Court) dalam amandemen konstitusi yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001 sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9 Nopember 2001. Ide pembentukan MK merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul di abad ke-20.
Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 maka dalam rangka menunggu pembentukan MK, MPR menetapkan Mahkamah Agung (MA) menjalankan fungsi MK untuk sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan Keempat. DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan Undang-Undang mengenai Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu (Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316).
Dua hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden melalui Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 hakim konstitusi untuk pertama kalinya yang dilanjutkan dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara pada tanggal 16 Agustus 2003.
Lembaran perjalanan MK selanjutnya adalah pelimpahan perkara dari MA ke MK, pada tanggal 15 Oktober 2003 yang menandai mulai beroperasinya kegiatan MK sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman menurut ketentuan UUD 1945.[17]

C. Kedudukan, Kewenangan dan Fungsi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
1. Kedudukan
Pasal 24 ayat 2 UUD 1945 menetapkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi adalah bagian dari kekuasaan kehakiman yang merdeka guna menegakkan hukum dan keadilan, sebagaimana dimaktub dalam pasal 24 ayat 1 UUD 1945.
Mahkamah Konstitusi bukan bagian dari Mahkamah Agung dalam makna berkaitan struktur unity of jurisdiction, seperti halnya dalam system hukum Anglo Saxon, tetapi berdidri sendiri sertta terpisah dari Mahkamah Agung secara duality of jurisdiction. Mahkamah Konstitusi berkedudukan setara dengan Mahkamah Agung. Keduanya adalah penyelenggara tertinggi dari kekuasaan kehakiman.[18]
2. Kewenangan
Berdasarkan pasal 24C ayat 1 UUD 1945 ditegaskan bahwa, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifatnya final untuk menguji Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.
Kemudian berdasarkan pasal 24C ayat 2 UUD 1945 juga memiliki kewajiban sekaligus menjadi kewenangan yang menegaskan bahwa, “Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.” Inilah dasar konstitusional kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, serta wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presidendan/atau Wakil Presiden diduga :[19]
1. telah melakukan pelanggaran hukum berupa :
a. penghianatan terhadap negara,
b. korupsi,
c. penyuapan,
d. tindak pidana berat lainnya;
2. atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
Berdasarkan pasal 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, ”Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.” Dilihat dari ketentuan ini, kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara merupakan manifestasi dari pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi tersebut.
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia sebelum amandemen ketiga UUD 1945 pada tahun 2001, belum ada aturan mengenai mekenisme penyelesaian sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara. Lembaga yang memiliki kewenangan kewenangan untuk memberikan putusan terhadap sengketa kewenangan konstitusional lembaga Negara tersebut belum ada. Karena itu, selama masa tersebut belum ada preseden dalam praktek ketatanegaraan Indonesia mengenai penanganan sengketa kewenangan konstitusional lembag negara. Barulah setelah adanya amandemen ketiga UUD 1945, yang mengadopsi pembentukan lembaga negara Mahkamah Konstitusi yang salah satu kewenangannya adalah memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, sistem ketatanaegaraan Indonesia memiliki mekanisme penyelesaian jika terjadi sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara.[20]
Secara defenitif, menurut Jimly Asshiddiqie, yang dimaksud dengan sengketa kewenangan konstitusional lembaga Negara yaitu perbedaan pendapat yang disertai persengketaan dan klaim antarlembaga negara yang satu dengan lembaga negara lainnya mengenai kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing lembaga negara tersebut.[21]
3. Fungsi
Mahkamah Konstitusi dibentuk untuk menjamin agar konstitusi sebagai hukum tertinggi dapat ditegakkan sebagaimana mestinya. Karena itu Mahkamah Konstitusi biasa disebut sebagai the guardian of the constitution seperti yang dinisbatkan kepada Mahkamah Agung Amerika Serikat.[22]
Dalam menjalankan fungsinya sebagai pengawal konstitusi, Mahkamah Konstitusi dilengkapi dengan lima kewenangan atau sering disebut empat kewenangan ditambah satu kewajiban.[23]
Dalam melakukan fungsi peradilan dalam keempat bidang kewenangan tersebut, Mahkamah Konstitusi melakukan penafsiran terhadap UUD 1945. Karena itu, disamping berfungsi sebagai pengawal UUD, Mahkamah Konstitusi juga biasa disebut sebagai the sole interpreter of the constitution.[24]
Bahkan dalam rangka kewenangannya untuk memutus perselisihan hasil pemilu, Mahkamah Konstitusi juga dapat disebut sebagai pengawal proses demokratisasi. Bahkan, Mahkamah Konstitusi juga merupakan pelindung hak asasi manusia (the protector of human rights).[25]
FOOTNOTE
1. Charles Howard McIlwain, Constitutionalism: Ancient and Modern, (Ithaca, New York: Cornell University Press, 1966), hal. 26. Seperti dikata­kan oleh Sir Paul Vinogradoff, “The Greeks recognized a close analogy between the organization of the State and the organism of the individual human being. They thought that the two elements of body and mind, the former guided and governed by the later, had a parallel in two constitutive elements of the State, the rulers and the ruled”.
2. Analogi di antara organisasi negara (state organization) dan organisme manusia (human organism) ini, seperti dikatakan oleh W. L. Newman dalam The Politics of Aristotle, merupakan the central inquiry of political science di dalam sejarah Yunani Kuno. Lihat, W. L. Newman (ed). The Politics of Aristotle, (New York: Oxford University Press, 2000).
3. Politea mengandung ke­kuasaan yang lebih tinggi dari pada nomoi, karena politea mem­punyai kekuasaan membentuk sedangkan pada nomoi tidak ada, karena ia hanya merupakan materi yang harus di­bentuk agar tidak bercerai-berai. Dalam kebudayaan Yunani istilah konstitusi ber­hubungan erat dengan ucapan Res­pub­lica Consti­tuere yang melahirkan semboyan, Princeps Legibus Solutus Est, Salus Publica Suprema Lex, yang arti­­nya ”Rajalah yang berhak menentukan struk­tur orga­ni­sasi negara, karena dialah satu-satunya pembuat un­dang-undang”. Lihat, Jimly Asshiddiqie, Gagasan Dasar Tentang Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi (http://www.jimly.com)
4. W. L. Newman (ed). The Politics of Aristotle, (New York: Oxford University Press, 2000).
5. Dokumen Constitutions of Clarendon menyebut dirinya sendiri sebagai recordatio (record) atau recognitio (a finding). Pengarang buku “Leges Henrici Primi” pada awal abad ke-12, juga menyebut “the well-known writ of Henry I for the holding of the hundred and county courts” sebagai record. Lihat, Jimly Asshiddiqie, Gagasan Dasar Tentang Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi…
6. George E. Woodbine (ed.), Glanvill De Legibus et Consuetudinibus Angiluae, (New Haven: 1932), hal. 63.
7. Charles Howard McIlwain, Constitutionalism: Ancient and Modern, hal. 24.
8. Banyak sarjana yang menggambarkan Piagam Madinah itu sebagai Konstitusi seperti dipahami dewasa ini. Beberapa diantaranya lihat Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945: Kajian Per­bandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat Majemuk, (Jakarta: UI-Press, 1995); Dahlan Thaib dkk., Teori Konstitusi dan Hukum Konstitusi, cet. kelima, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005). Lihat juga Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsio-prinsipnya Dili­hat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, cet. kedua, (Jakarta: Kencana, 2004).
9. Brian Thompson, Textbook on Constitutional and Administrative Law, edisi ke-3 (London: Blackstone Press ltd., 1997), hal. 3.
10. Lebih lanjut lihat Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta; Konstitusi Press, 2005), hal. 19 – 34.
11. Hal tersebut terjadi kurang lebih 11 tahun sejak kemerdekaan Amerika Serikat setelah dideklarasikannya pada tanggal 4 Juli 1776. Lihat juga Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, (Ban­dung: CV. Mandar Maju, 1995), hal. 2.
12. Sementara ini, beberapa sarjana ada juga yang berpendapat bahwa Arab Saudi telah memiliki satu Konstitusi tertulis, yaitu naskah yang dibuat dan di­sandarkan berdasarkan Al Qur’an dan Hadist.
13. Lihat, Jimly Asshiddiqie, Gagasan Dasar Tentang Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi…
14. William G. Andrews, misalnya, dalam bukunya Constitutions and Consti­tu­tio­nalism 3rd edition, menyatakan: “The members of a political commu­nity have, bu definition, common interests which they seek to promote or protect through the creation and use of the compulsory political mechanisms we call the State”, (New Jersey: Van Nostrand Company, 1968), hal. 9.
15. Jilmly Asshiddiqie, makalah “Konstitusi dan Hukum Tata Negara Adat.” Ed., Seminar Nasional tentang Konstitusi Kesultanan-Kesultanan Islam di Jawa Barat dan Banten. UIN Gunung Djati, Bandung, 5 April 2008.
16. Jimly Asshidiqie, makalah “Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia.” Ed., Temu Wicara Pengkajian Konstitusi dan Hukum Acara MK-RI dengan PP Muhammadiyah, Jakarta. 13-15 April 2007, hal. 17.

17. http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/profilemk.phpmk=2 diakses tanggal 21 nov 2008
18. H.M. Laica Marzuki, makalah “Sudi Mampir di Mahkamah Konstitusi RI” Ed., Temu Wicara Pengkajian Konstitusi dan Hukum Acara MK-RI dengan PP Muhammadiyah, Jakarta. 13-15 April 2007, hal. 6.
19. H.M. Laica Marzuki, makalah “Sudi Mampir di Mahkamah Konstitusi RI”, hal. 7
20. Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara, cet. Ke-3 (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hal. 2
21. Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara, hal. 4
22. Jimly Asshiddiqie, Perkembangan & Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, cet. Ke-3 (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hal. 154.
23. Lihat pasal 24C ayat 1 dan 2 UUD 1945.
24. Jimly Asshiddiqie, Perkembangan & Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, hal. 155 – 156.
25. Jimly Asshiddiqie, Perkembangan & Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, hal. 156.

0 komentar:

Berikan komentar anda disini!

YOUR MESSAGE....